PENERAPAN PENDEKATAN KONTEKSTUAL PADA
MATERI STATISTIKA SISWA KELAS X
Oleh:
ERNI VIYANNA
ABSTRAK
Kebanyakan siswa kurang berminat pada
matematika dikarenakan adanya kecenderungan bahwa yang ditampilkan kepada siswa
adalah deretan rumus-rumus yang abstrak sehingga membuat siswa merasa bosan dan
jenuh untuk mempelajari materi matematika akibatnya hasil belajarnya kurang optimal. Oleh karena itu, dibutuhkan suatu
kegiatan pembelajaran yang dapat membuat siswa aktif dan kreatif dalam mengkontruksikan ide-idenya melalui konteks
dunia nyata sehingga mendorong siswa membentuk suatu pemahaman matematika. Salah
satu pendekatan yang dapat menjawab tantangan tersebut adalah melalui
pendekatan kontekstual. Berdasarkan hal tersebut, maka dilakukan penelitian
pada pembelajaran materi statistika melalui pendekatan kontekstual pada siswa
kelas X SMK Negeri 3 Kota Banda Aceh. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui
dan mendiskripsikan ketuntasan belajar siswa, respon siswa dan hasil belajar
terhadap kegiatan pembelajaran dengan pendekatan kontekstual. Penelitian ini
menggunakan penelitian eksperimen dengan desain pre test dan post test group.
Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh siswa kelas X SMK Negeri 3 Kota
Banda Aceh yang berjumlah 219 siswa yang terdiri dari 7 kelas, sedangkan sampel
dalam penelitian ini adalah siswa kelas X-BS2 sebanyak 34 siswa
diambil dengan teknik purposive
sampling. Data dikumpulkan dengan teknik tes, dokumentasi dan angket respon
siswa. Pengolahan data dilakukan dengan statistik uji t. Dari hasil pengolahan
data diperoleh bahwa thit = 11,23 dan ttabel = 1,71 sehingga
hipotesis Ho ditolak
dan hipotesis Ha diterima. Dapat disimpulkani hasil belajar siswa antara
tes akhir dengan tes awal meningkat dengan penerapan pendekatan kontekstual
pada materi statistika di kelas X SMK Negeri 3 kota Banda Aceh. Dari 34 orang
siswa terdapat 31 siswa atau 91,18% yang tuntas belajar materi statistika
setelah diterapkan suatu perlakuan pendekatan kontekstual dalam pembelajaran.
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang Masalah
Pendidikan
merupakan suatu hal yang sangat penting yang harus dimiliki oleh siapa saja,
baik anak-anak maupun orang dewasa. Dunia pendidikan adalah dunia yang sangat
penting dalam kehidupan manusia. Manusia yang selalu diiringi pendidikan,
kehidupannya akan selalu berkembang ke arah yang lebih baik. Tidak ada zaman
yang tidak berkembang, tidak ada kehidupan manusia yang tidak bergerak, dan
tidak ada manusia pun yang hidup dalam stagnasi peradaban.[1]
Oleh karena itu pendidikan merupakan proses yang mengangkat harkat dan martabat
manusia sepanjang hayat. Dengan demikian pendidikan memegang peranan yang
menentukan perkembangan manusia untuk memperoleh kesuksesan dalam kehidupannya.
Pelaksanaan
pendidikan dapat diadakan melalui pendidikan formal maupun informal. Lembaga
pendidikan formal atau sekolah mempunyai jenjang pendidikan dari TK hingga
perguruan tinggi. Pengelolaannya dilakukan oleh tenaga pendidik yang membantu
anak memberikan pendidikan sampai proses evaluasi prestasi belajarnya tercapai.
Menurut
E. Mulyasa, pembelajaran pada hakikatnya adalah “proses interaksi antara siswa
dengan lingkungannya, sehingga terjadi perubahan perilaku kearah yang
lebih
baik”.[2] Pada
proses interaksi tersebut banyak sekali faktor yang mempengaruhinya, baik
faktor internal yang datang dari diri individu maupun faktor eksternal yang
datang dari lingkungan. Selanjutnya Mulyasa menyatakan bahwa “pada proses
pembelajaran, tugas guru yang paling utama adalah mengkondisikan lingkungan
agar menunjang terjadinya perubahan perilaku bagi siswa”.[3]
Dewasa ini berbagai upaya untuk meningkatkan mutu pendidikan telah dilakukan, antara
lain berupa pengembangan kurikulum sebagai
keseluruhan
program pengalaman
belajar, pengadaan buku-buku
pelajaran beserta
buku pegangan guru,
penambahan dan
penataran guru dan
pembinaan perpustakaan
madrasah sebagai pusat
atau
sumber belajar.
Namun apapun yang telah
dilakukan untuk meningkatkan mutu pendidikan,
yang pasti sebagaimana
dikemukakan oleh para teoritis pendidikan,
adalah
bahwa peningkatan
mutu pendidikan tidak mungkin ada
tanpa performansi
para gurunya.
Guru memiliki peranan utama dalam mengoptimalkan
proses belajar siswa. Hal ini sesuai dengan yang dikemukakan oleh Oemar Hamalik
yaitu “Guru menjadi faktor penentu keberhasilan
proses pendidikan, sebab mereka menduduki
posisi kunci dalam usaha pencapaian tujuan pendidikan”.[4]
Dengan demikian, guru hendaknya berwawasan luas dan mampu mengantisipasi persoalan-persoalan
yang terjadi dalam proses belajar mengajar. Hamalik juga mengemukakan bahwa peranan guru
yang sangat penting adalah:
Mengaktifkan dan mengefisienkan proses belajar mengajar di sekolah
termasuk di dalamnya penggunaan strategi mengajar guru matematika itu. Karena
itu, cara mengajar guru adalah langkah-langkah yang dirancangkan atau dilakukan
guru dalam proses belajar-mengajar yang sangat dipengaruhi minat peserta didik
terhadap mata pelajaran.[5]
Hal
ini berarti pembelajaran
yang baik sangat bergantung pada pemilihan dan penggunaan strategi mengajar
yang sesuai dengan tujuan mengajar. Untuk itu dituntut kepada guru untuk
memilih strategi mengajar yang tepat dalam proses belajar mengajar. Oleh karena itu, tanggungjawab guru
dalam proses pembelajaran sangat diperlukan. Begitu juga dengan pembelajaran matematika,
peranan guru menjadi faktor penentu keberhasilan siswa.
Matematika
merupakan salah satu mata pelajaran yang ada disetiap jenjang pendidikan, baik
dijenjang pendidikan dasar, menengah maupun perguruan tinggi. Peranan
matematika sangat penting dalam menunjang pembangunan di bidang pendidikan,
bagi siswa penguasaan matematika akan menjadi sarana yang ampuh sebagai
penunjang mempelajari mata pelajaran lain.
Kenyataan
di lapangan penguasaan matematika bagi siswa menunjukkan bahwa kebanyakan siswa
kurang berminat pada matematika dikarenakan adanya kecenderungan bahwa yang
ditampilkan kepada siswa adalah deretan rumus-rumus yang abstrak sehingga
membuat siswa merasa bosan dan jenuh untuk belajar dan mempelajari materi
tersebut. Susanto mengemukakan, “minat akan
berdampak terhadap kegiatan yang dilakukan seseoarang. Dalam hubungannya dengan
kegiatan belajar, minat tertentu dimungkinkan akan berpengaruh terhadap hasil
belajar siswa, hal ini dikarenakan adanya minat siswa terhadap sesuatu dalam kegiatan
belajar itu sendiri”.[6]
Berdasarkan
observasi lapangan yang peneliti lakukan di SMK Negeri 3 Banda Aceh, peneliti
memperoleh informasi bahwa ada beberapa materi pelajaran matematika yang
dianggap sulit oleh beberapa siswa. Salah satu materi pelajaran tersebut adalah materi
statistika. Statistika merupakan
materi pelajaran matematika yang
wajib
dipelajari oleh siswa kelas X semester II.
Pokok bahasan statistika sangat banyak kaitannya dengan kehidupan sehari-hari.
Namun, sebahagian siswa sering mengalami masalah dan mengeluh dalam
menyelesaikan soal pada materi statistika. Ini dibuktikan dari banyaknya siswa yang mengatakan bahwa
materi ini sulit karena dalam materi tersebut
banyak perhitungan-perhitungan dengan menggunakan rumus-rumus yang berbeda, selain
itu materi statistika juga membutuhkan ketelitian yang tinggi untuk menyajikan serta mengolah data yang ada seperti
penyajian data kedalam bentuk tabel dan diagram/plot yaitu diagram batang,
lingkaran, garis dan gambar dan menentukan ukuran pemusatan data yaitu
menghitung rataan, median dan modus, sehingga beberapa siswa memperoleh tidak
mencapai ketuntasan belajar.[7]
Disadari atau tidak, statistika
telah banyak digunakan dalam kehidupan sehari-hari. Pernyataan-pernyataan
seperti: setiap hari terjadi 13 kecelakaan kenderaan di Banda Aceh, hasil padi
musim panen mendatang diperkirakan 50 kuintal tiap hektar dan 10% anak-anak SD
mengalami putus sekolah setiap tahun, sering kita dengar atau baca di
surat-surat kabar. Uraian singkat di atas, hendak menggambarkan kepada kita
bahwa statistika sebenarnya sangat diperlukan dalam kehidupan sehari-hari
terutama bagi generasi penerus bangsa.
Ada kecenderungan dewasa ini untuk kembali
pada pemikiran bahwa anak akan belajar lebih baik jika lingkungan diciptakan
alamiah. Belajar akan lebih bermakna jika anak mengalami apa yang
dipelajarinya, bukan memgetahuinya. Pembelajaran yang berorientasi pada
penguasaan materi terbukti berhasil dalam kompetisi mengingat jangka pendek
tetapi gagal dalam membekali anak memecahkan persoalan dalam kehidupan jangka
panjang. Untuk mencapai
tujuan- tujuan pembelajaran tersebut
salah
satu cara yang dapat
ditempuh oleh seorang
guru adalah
dengan menerapkan pendekatan
kontekstual. Contextual
Teaching and Learning (CTL) adalah suatu strategi pembelajaran yang
menekankan kepada proses keterlibatan siswa secara penuh untuk dapat menemukan
materi yang dipelajari dan menghubungkannya dengan situasi kehidupan nyata
sehingga mendorong siswa untuk dapat menerapkannya dalam kehidupan mereka.[8]
Dengan menggunakan
pendekatan kontekstual
diharapkan hasil pembelajaran akan lebih
bermakna
bagi
peserta
didik. Proses pembelajaran berlangsung alamiah
dalam
bentuk kegiatan
peserta
didik bekerja
dan mengalami, bukan
transfer pengetahuan
dari guru ke peserta didik. Hasil pembelajaran
diharapkan lebih bermakna bagi peserta
didik untuk memecahkan
persoalan, berfikir kritis
dan melaksanakan observasi
serta menarik
kesimpulan dalam kehidupan jangka
panjangnya. Dalam konteks
ini, peserta didik perlu mengerti apa
makna belajar, apa manfaatnya, dalam
status
apa mereka dan bagaimana
mencapainya. Mereka sadar bahwa
yang mereka pelajari
berguna
bagi
hidupnya nanti. Dengan begitu mereka
memposisikan sebagai diri
sendiri yang
memerlukan suatu
bekal
untuk hidupnya nanti. Mereka mempelajari
apa yang
bermanfaat bagi
dirinya dan
berupaya menggapainya.
Dari
latar
belakang di
atas
peneliti tertarik melakukan
penelitian dengan judul “Penerapan Pendekatan Kontekstual
Pada
Materi Statistika Siswa Kelas X SMK Negeri 3
Kota Banda Aceh”.
B. Penjelasan Istilah
Untuk
memudahkan memahami maksud dari keseluruhan penelitian, maka peneliti merasa
perlu memberikan beberapa definisi tentang istilah yang ada dalam penelitian
ini, antara lain:
1.
Penerapan
Menurut pusat pembinaan dan pengembangan belajar kamus
besar bahasa indonesia, “Penerapan adalah peragaan atau prihal mempraktekkan”.[9] Menurut Dwi Andi K, “Penerapan adalah
pemasangan, pengenaan perihal mempraktekkan”.[10] Jadi penerapan yang dimaksud adalah perihal
yang mempraktekkan atau menerapkan pendekatan kontekstual pada materi statistika.
2. Pendekatan
Kontekstual
Nurhadi menyatakan kontekstual
adalah “konsep belajar yang membantu guru menggabungkan isi pelajaran dengan
dunia nyata, dan memotivasi siswa menghubungkan pengetahuan dengan penerapan
dalam kehidupan mereka sebagai anggota keluarga dan masyarakat”.[11]
Menurut Sanjaya ada tiga hal yang harus dipahami dalam
pendekatan kontekstual: Pertama kontekstual menekankan kepada
proses keterlibatan siswa untuk menemukan materi, kedua kontekstual
mendorong agar siswa dapat menemukan hubungan antara materi yang dipelajari
dengan situasi kehidupan nyata, ketiga mendorong siswa untuk
dapat menerapkan dalam kehidupan”.[12]
3.
Statistika
Materi statistika merupakan salah satu materi yang
diajarkan dikelas X SMK/sederajat yang bertujuan agar siswa dapat menyajikan
dan mengolah data.
C. Rumusan Masalah
Berdasarkan
latar belakang masalah di atas, maka rumusan masalah dari penelitian ini adalah
sebagai berikut:
1. Bagaimana hasil belajar
siswa dengan penerapan pendekatan kontekstual pada materi statistika siswa
kelas X SMK Negeri 3 Kota Banda Aceh?
2. Bagaimana tingkat
ketuntasan belajar siswa dengan
penerapan pendekatan kontekstual pada materi statistika siswa kelas X SMK
Negeri 3 Kota Banda Aceh?
3. Bagaimana respon siswa
dengan penerapan pendekatan kontekstual pada materi statistika siswa kelas X
SMK Negeri 3 Kota Banda Aceh?
D.
Tujuan
dan Manfaat Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah, maka
tujuan penelitian ini adalah:
1. Untuk mengetahui hasil
belajar siswa dengan penerapan pendekatan kontekstual pada materi statistika
siswa kelas X SMK Negeri 3 Kota Banda Aceh.
2. Untuk mengetahui tingkat
ketuntasan belajar siswa dengan
penerapan pendekatan kontekstual pada materi statistika siswa kelas X SMK
Negeri 3 Kota Banda Aceh.
3. Untuk mengetahui respon
siswa dengan penerapan pendekatan kontekstual pada materi statistika siswa
kelas X SMK Negeri 3 Kota Banda Aceh.
Penelitian yang
dilaksanakan di kelas X SMK Negeri 3 Kota Banda Aceh ini menurut penulis
memiliki beberapa manfaat yaitu:
1.
Menambah
pengetahuan serta wawasan bagi peneliti tentang pendekatan kontekstual yang
dapat dilakukan dalam mempersiapkan diri sebagai calon pengajar dimasa yang
akan datang.
2.
Memberi
informasi kepada guru tentang proses belajar mengajar dengan penerapan
pendekatan kontekstual dalam pembelajaran materi statistika.
3.
Meningkatkan
kemampuan siswa dalam pembelajaran materi statistika.
E.
Postulat
dan Hipotesis Penelitian
Menurut
Suharsimi “postulat atau anggapan dasar penelitian adalah sebuah titik tolak
pemikiran yang kebenaranya diterima oleh penyelidik”.[13] Maka
yang menjadi anggapan dasar dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1.
Materi statistika adalah salah satu materi yang
diajarkan di SMK Negeri 3 Kota Banda Aceh.
2.
Pendekatan
kontekstual adalah strategi pembelajaran yang dapat digunakan dalam
pembelajaran matematika.
Suatu penelitian
dilengkapi dengan hipotesis. Hipotesis adalah jawaban sementara terhadap
masalah penelitian yang secara teoritis dianggap paling tinggi tingkat
keberadaannya. Hal ini sesuai yang dikemukakan oleh Suharsimi Arikunto yaitu “
hipotesis dapat diartikan sebagai suatu jawaban yang bersifat sementara
terhadap permasalah penelitian, sampai terbukti melalui data yang terkumpul”.[14] Adapun
hipotesis dalam penelitian ini adalah “Hasil belajar siswa
antara tes akhir dengan tes awal meningkat dengan
penerapan pendekatan kontekstual pada materi statistika”.
F.
Metode
Penelitian
1.
Rancangan
Penelitian
Penelitian
ini menggunakan pendekatan kuantitatif dengan menerapkan metode penelitian pre experimen design atau sering juga
disebut dengan quasi experimen yang
dilakukan dalam bentuk pemberian perlakuan secara klasikal. Sedangkan untuk
rancangan penelitian menggunakan model rancangan one grup pretest-post test design. Menurut Suharsimi Arikunto “di
dalam desain ini observasi dilakukan sebanyak 2 kali yaitu sebelum eksperimen
dan sesudah eksperimen. Observasi yang dilakukan sebelum eksperimen (O1)
disebut pre-test, dan observasi yang dilakukan sesudah eksperimen (O2)
disebut post-test”.[15]
Berikut adalah pola atau gambaran desain one grup pretest-pos test design.
Tabel
1.1 Rancangan Penelitian
O1 X O2
|
Keterangan :
X = Treatment (perlakuan )
O1 =
Hasil observasi sebelum perlakuan
O2 = Hasil observasi setelah perlakuan
Dalam
pelaksanaannya diambil satu kelas sebagai sampel kemudian terlebih dahulu
diberikan tes awal, setelah diberikan tes awal seterusnya menerapkan suatu
perlakuan terhadap sampel tersebut, kemudian dilakukan tes akhir. Untuk
mengetahui efektif atau tidaknya perlakuan yang diberikan, maka dibuat
perbandingan antara hasil tes awal dengan tes akhir. Jika setelah dilakukan
analisa data ternyata hasil tes akhir lebih baik dari pada tes awal, maka
disimpulkan bahwa perlakuan yang diberikan lebih baik. Hal ini sebagaimana yang
dikemukakan oleh Suharsimi Arikunto yaitu “perbedaan antara O1 dan O2 yakni O1
dan O2 diasumsikan merupakan efek dari treatmen atau eksperimen”.[16]
2.
Populasi
dan Sampel Penelitian
Populasi adalah keseluruhan objek yang akan
diteliti dalam suatu penelitian. Penetapan populasi penelitian merupakan suatu
hal yang penting diperhatikan karena penelitian itu sendiri bertujuan untuk
mengambil kesimpulan terhadap populasi secara keseluruhan. Sebagaimana
dijelaskan oleh Sudjana:
Populasi adalah totalitas semua nilai yang
mungkin, hasil perhitungan, pengukuran kuantitatif maupun kualitatif mengenai
karakteristik tertentu dari semua anggota kumpulan yang lengkap dan jelas yang
ingin dipelajari sifat-sifatnya, Sedangkan sampel adalah bagian dari populasi
yang dapat mewakili populasi tersebut.[17]
Berdasarkan uraian di atas, maka dalam
penelitian ini yang dijadikan populasi adalah seluruh siswa kelas X SMK Negeri
3 Kota Banda
Aceh yang berjumlah 219 orang, dengan jumlah siswa laki-laki 9 orang dan siswa
perempuan 210 orang. Adapun keadaan populasi siswa kelas X SMK Negeri 3 Kota Banda Aceh adalah sebagai berikut:
Tabel 1.2. Data siswa
kelas X SMK Negeri 3 Kota Banda Aceh tahun
pelajaran 2014/ 2015
No
|
Kelas
|
Pembagian Kelas
|
Jenis Kelamin
|
Jumlah
|
|
Laki-Laki
|
Perempuan
|
||||
1
|
X
|
BS1
|
38
|
38
|
|
2
|
BS2
|
34
|
34
|
||
3
|
BS3
|
39
|
39
|
||
4
|
JB
|
3
|
30
|
33
|
|
5
|
PT
|
30
|
30
|
||
6
|
KC
|
19
|
19
|
||
7
|
PH
|
6
|
20
|
26
|
|
Jumlah
|
9
|
210
|
219
|
Sumber: Dokumentasi SMK Negeri 3 Kota Banda Aceh
2015
Setelah menetapkan
populasi dari penelitian ini, selanjutnya ditentukan pula sampel penelitian.
Sampel dalam penelitian ini penulis pilih secara purposive sampling (dengan
pertimbangan) yaitu kelas X-BS2 sebanyak 34 siswa, alasan penulis
pilih kelas tersebut antara lain pertimbangan dari guru matematika dan
rata-rata hasil belajar matematika siswa yang kurang memuaskan.
3.
Teknik
Pengumpulan Data
Adapun teknik pengumpulan data yang penulis
gunakan dalam penelitian ini adalah:
a.
Tes
Menurut Arifin tes adalah suatu cara yang
digunakan untuk melaksanakan kegiatan evaluasi yang berupa item atau soal yang
harus dikerjakan oleh siswa yang menghasilkan nilai dari jawaban yang
diberikan.[18]
Tes
yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah tes tertulis dalam bentuk essay
yang dirangkum berdasarkan buku pegangan guru dan buku lain yang relevan. Dalam
penelitian ini tes dilakukan sebanyak dua kali, yaitu tes awal dan tes akhir.
Tes awal dilaksanakan untuk mengukur
pengetahuan awal siswa sebelum pelaksanaan pembelajaran dengan penerapan pendekatan
kontekstual materi statistika. Tes akhir dilakukan setelah proses belajar
mengajar selesai dilaksanakan dengan penerapan pendekatan kontekstual. Tes
akhir ini bertujuan untuk mengetahui apakah ada peningkatan hasil evaluasi
belajar matematika pada siswa yang diajarkan dengan penerapan pendekatan
kontekstual, dengan membandingkan antara hasil tes akhir dengan hasil tes awal.
b.
Dokumentasi
Dokumentasi
merupakan pengumpulan data yang bersifat dokumen, yang bersumber dari suatu lembaga.
Pengumpulan data inisebagai data penunjang dari data lapangan yang berupa penerapan
pendekatan kontekstual pada siswa kelas X SMK Negeri 3 Kota Banda Aceh.
c.
Angket Respon Siswa
Angket adalah kumpulan dari pertanyaan yang
digunakan secara tertulis kepada respon dan cara menjawab juga dilakukan dengan
tertulis.[19] Adapun
bentuk angket yang digunakan dalam penelitian ini adalah angket tertutup yang
terdiri dari sejumlah pertanyaan kepada subjek dengan jumlah pertanyaan
sebanyak 8
pertanyaan. Lembar angket siswa diadopsi dari skripsi Noraliana mahasiswa
Fakultas Tarbiyah Muhammadiyah Aceh jurusan Pendidikan Matematika yang berjudul
Penerapan Pendekatan Open-Endded. Siswa
memberikan cek list (√) pada
kolom yang tersedia untuk setiap pertanyaan yang diajukan. Angket tersebut dibagikan kepada siswa setelah keseluruhan kegiatan
pembelajaran selesai di laksanakan.
4.
Teknik
Analisis Data
Setelah semua data terkumpul maka untuk
menjawab permasalahan penelitian yang telah dirumuskan kemudian dilakukan perhitungan
sebagai berikut:
a.
Ketuntasan Hasil Belajar Siswa
Seorang
siswa dikatakan tuntas belajar secara individual apabila nilai yang diperoleh sesuai
dengan Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM) yang telah ditetapkan di SMK Negeri 3 Kota Banda Aceh yaitu 75, sedangkan suatu kelas dikatakan
tuntas belajar secara klasikal jika 85% siswa tuntas belajar.[20]
Data yang digunakan untuk menganalisis ketuntasan hasil belajar adalah data
yang diperoleh dari hasil tes, dengan demikian dapat disimpulkan bahwa siswa
dikatakan tuntas belajar secara individu bila memiliki daya serap 75. Sedangkan suatu kelas
dikatakan tuntas belajar secara klasikal tercapai bila ≥ 85% siswa dikelas tersebut telah tuntas belajar.
Jawaban tes digunakan untuk melihat ketuntasan hasil belajar. Skor yang diperoleh
dari hasil tes tersebut dijadikan sebagai data penelitian yang akan diolah. Setelah
data terkumpul maka disajikan dalam bentuk distribusi frekuensi. Selanjutnya
data akan dianalisis dengan menggunakan teknik analisis deskriptif persentase dengan
rumus:
P
=
Keterangan:
P = Nilai persentase siswa yang tuntas
f = Frekuensi
siswa yang tuntas
n = Jumlah seluruh siswa.
b.
Analisis Hasil Belajar
pengolahan data diawali
dengan mentabulasi data yang telah terkumpul ke dalam daftar distribusi
frekuensi, kemudian untuk menghitung nilai rata-rata, varians, hingga menguji
hipotesis diperlukan analisis data. Langkah-langkah yang akan dilakukan untuk
mengenalisis data hasil belajar siswa adalah sebagai berikut:
1. Untuk
membuat daftar distribusi frekuensi dengan panjang kelas yang sama, Sudjana
mengemukakan langkah-langkah sebagai berikut:
a. Tentukan
rentang, ialah data terbesar dikurangi data terkecil.
b. Tentukan banyak
kelas interval yang diperlukan dengan n
sebagai banyak siswa, dapat digunakan aturan Sturges, yaitu :
Banyak
kelas = 1 + 3,3 log n
c.
Tentukan
panjang kelas interval P, dapat ditentukan oleh rumus aturan :
P =
d.
Pilihlah ujung bawah kelas interval
pertama. Untuk ini biasa diambil sama dengan data terkecil atau nilai data yang
lebih kecil dari data yang terkecil tetapi selisihnya harus kurang dari panjang
kelas yang ditentukan.[22]
2. Data
yang telah disusun dalam distribusi frekuensi kemudian dicari nilai
rata-ratanya. Menurut Sudjana, nilai rata-rata siswa ()
dihitung dengan rumus :
Keterangan :
()
= Skor rata-rata siswa
fi
= Frekuensi kelas interval
xi
= Nilai tengah[23]
3. Selanjutnya
ditentukan pula varians (S2)
data. Menurut Sudjana, varians (S2)
diperoleh dengan rumus :
Keterangan :
S
= Standar deviasi
xi
= Nilai tengah hasil tes
fi
= Frekuensi untuk nilai xi
n
= Banyak data[24]
4. Sebelum
melakukan pengujian hipotesis data dianalisis menggunakan statistik inferensial
untuk menguji normalitas yang diambil sebagai sampel. Untuk menguji normalitas
data dapat digunakan rumus :
Keterangan :
χ2 = Chi-kuadrat
Oi
= Frekuensi observasi
Ei
= Frekuensi harapan[25]
Dengan kriteria pengujian, data
berdistribusi normal jika χ2 ≤ χ21 – α pada
taraf sifnifikan α = 0,05 dan dk = k – 3. Untuk menghitung Z – score digunakan rumus sebagai
berikut :
Keterangan
:
x
= Batas kelas
= Rata-rata skor
S
= Standar deviasi[26]
5. Setelah
dilakukan pengujian normalitas, maka langkah selanjutnya yaitu menguji
hipotesis. Adapun hipotesis yang akan diuji dengan menggunakan rumus statistik
uji-t, seperti yang telah dikemukakan oleh sudjana berikut :
Keterangan :
Md
= Rata-rata dari gain antara tes akhir dan tes awal
d
= Gain (selisih) skor tes akhir terhadap tes awal setiap subjek
n
= Jumlah subjek[27]
Kemudian
untuk mengetahui ada tidaknya pengaruh dalam penerapan metode problem solving (pemecahan masalah),
maka dilakukan pengujian hipotesis pada taraf signifikan 0,05. Sudjana
mengemukakan bahwa “kriteria penguji hipotesis untuk uji-t pihak kanan dengan dk = k
– 3 dengan ketentuan:
·
Tolak Ho dan terima Ha jika: thit
> ttabel.
·
Terima Ho dan tolak Ha jika: thit
= ttabel.
c.
Analisis Data Respon Siswa
Untuk mengetahui respon siswa maka
dianalisis dengan menghitung rata-rata keseluruhan skor yang telah dibuat dengan
model skala Likert. Sebagaimana yang dikemukakan Sukardi bahwa “Dalam menskor
skala kategori Likert, jawaban diberi bobot atau disamakan dengan nilai
kuantitatif 4, 3, 2, 1 untuk pertanyaan positif dan 1, 2, 3, 4 untuk pertanyaan
bersifat negative”.[28]
Pada penelitian untuk pernyataan positif maka diberi skor 4 untuk sangat
setuju, 3 untuk setuju, 2 untuk tidak setuju dan 1 untuk sangat tidak setuju.
Sedangkan untuk pernyataan negatif diberi skor sebaliknya yaitu skor 1 untuk
sangat setuju, 2 untuk setuju, 3 untuk tidak setuju, dan 4 untuk sangat tidak
setuju.
Untuk mennghitung skor rata-rata
respon siswa dapat digunakan rumus sebagai berikut:
Skor rata-rata =
Keterangan:
f1 = Banyak siswa yang dapat menjawab pilihan A
(sangat setuju)
n1 = Bobot skor pilihan A (sangat setuju)
f2 = Banyak
siswa yang menjawab pilihan B (setuju)
n2 = Bobot skor pilihan B (setuju)
f3 = Banyak siswa yang menjawab pilihan C (tidak
setuju)
n3 = Bobot skor pilihan C (tidak setuju)
f4 = Banyak siswa yang menjawab pilihan D (sangat
tidak setuju)
n4 = Bobot skor pilihan D (sangat tidak setuju)
N = Jumlah
seluruh siswa yang memberikan respon terhadap pembelajaran.[29]
Kriteria skor rata-rata untuk respon
siswa adalah sebagai berikut:
3
skor rata-rata ≤ 4 sangat positif
2 skor rata-rata 3
positif
1
skor rata-rata ≤ 2 negatif
0
skor
rata-rata ≤ 1 sangat negatif.[30]
Kemudian dalam menjaga
keseimbangan penulisan skripsi ini penulis berpedoman pada buku “Panduan
Penulisan Karya Ilmiah” Fakultas Tarbiyah Universitas Muhammadiyah Aceh, 2008.
[2] E. Mulyasa, Kurikulum Berbasis
Kompetensi: Karakteristik dan Implementasi (Bandung: Rosda Karya,
2005), hal. 100.
[3] Ibid,
hal. 100.
[5] Oemar Hamalik, Proses Belajar Mengajar, (Jakarta:
Bumi Aksara, 2001), hal.
124.
[6] Ahmad Sutanto, Teori Belajar dan
Pembelajaran Di Sekolah Dasar, (Jakarta: Kencana Perdana Media Grup, 2013),
hal. 67.
[8] Wina Sanjaya, Strategi
Pembelajaran Berorientasi Standar Proses Pendidikan,
(Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2012), hal. 255.
[9] Pusat Pembinaan dan Pengembangan Belajar, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 2005), hal. 144.
[10] Dwi Adi
K, Kamus Praktis Bahasa Indonesia, (Surabaya: Fajar Mulya, 2001), hal. 508.
[11] Nurhadi, Pembelajaran Kontekstual
dan Penerapannya Dalam KBK, (Malang: Universitas Negeri Malang, 2004), hal.
13.
[12] Wina Sanjaya,
Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar Proses Pendidikan, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group,
2012) hal. 255.
[13] Suharsimi
Arikunto, Prosedur Penelitian Suatu
Pendekatan Praktek, (Bandung: Bina Aksara, 1998), hal. 61.
[14] Ibid,
hal. 64.
[15] Suharsimi Arikunto, Prosedur
Penelitian Suatu Pendekatan Praktek, (Jakarta: Bumi Aksara, 1998), hal. 78.
[16] Ibid
[18]
Arifin, Zainal, Evaluasi Instrumen,
(Bandung: Remaja Rosda Karya, 1991), hal. 22.
[19] Suharsimi Arikunto, Manajemen Penelitian,
(Jakarta: Rinika Cipta, 2003), hal. 101.
[20] Hasil Wawancara Penulis dengan Guru Matematika di SMKN 3 Kota Banda Aceh Pada Tanggal 16 Maret 2015.
[21] Sudjana, Metode Statistika, (Bandung: Tarsito, 2005), hal.
69.
[22] Sudjana, Metode Statistik, (Bandung : Tarsito, 2005), hal. 47.
[24]
Ibid, hal 95.
[25]
Ibid, hal. 190.
[26]
Ibid, hal. 191.
[27] Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik,
(Jakarta : Rineka Cipta, 2006), hal. 86.
[28] Sukardi, Metodologi
Penelitian Pendidikan; Kompetensi dan Prakteknya, (Jakarta:
Bumi Aksara, 2004), hal. 14.
[30]
Ibid, hal. 148.
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
A.
Teori
Belajar Konstruktivisme
Pengertian belajar dapat kita temukan dalam berbagai
sumber atau literatur. Hampir semua ahli telah mencoba merumuskan dan membuat tafsiran
tentang belajar. Seringkali pula perumusan dan tafsiran itu berbeda satu sama
lain karena sebuah definisi itu sangat tergantung kepada
siapa yang mendefinisikan, namun demikian selalu mengacu pada prinsip yang sama.
Secara
umum belajar merupakan suatu proses usaha sadar yang dilakukan oleh individu
untuk suatu perubahan dari tidak tahu menjadi tahu, dari tidak memiliki sikap
menjadi bersikap benar, dari tidak terampil menjadi terampil melakukan sesuatu.
Belajar tidak hanya sekedar memetakan pengetahuan atau informasi yang
disampaikan. Namun bagaimana melibatkan individu secara aktif membuat atau pun
merevisi hasil belajar yang diterimanya menjadi suatu pengalaman yang
bermanfaat bagi pribadinya.
Teori
adalah seperangkat azas yang tersusun tentang kejadian-kejadian tertentu dalam
dunia nyata.[1]
Sedangkan tata cara pengaplikasian kegiatan belajar mengajar antara guru dan
siswa, dan perancangan cara pembelajaran yang akan dilaksanakan dikelas maupun
diluar kelas merupakan teori dari belajar.
Teori sering
dianggap sebagai hal yang lebih mudah dilakukan dibandingkan dengan prakteknya.
Akan tetapi, perlu kita telaah lebih lanjut bahwa dalam membuat sebuah teori
tidaklah mudah sehingga perkembangan teori dalam dinamika keilmuan tidak begitu
cepat. Maka dari itu, seorang ilmuan yang menghasilkan teori sangat dihargai
dan dikenang oleh masyarakat luas, minimalnya oleh orang yang mengkaji bidang
keilmuannya.
Menurut Rahmah Johar “pembelajaran
kontekstual pada dasarnya mengacu pada teori konstruktivisme”[2] siswa
diharapkan membangun pemahaman sendiri dari pengalaman, atau pengetahuan
terdahulu, sehingga pengalaman belajar siswa lebih relevan dan berarti bagi
siswa dalam pembelajaran seumur hidup. Selanjutnya Rahmah Johar
berpendapat bahwa “belajar menurut pandangan
konstruktivisme adalah suatu proses aktif dari si pembelajar dalam membangun
pengetahuannya, bukan proses pasif yang
hanya menerima tranformasi pengetahuan dari guru melalui ceramah”.[3]
Selanjutnya Bimo Walgito menyatakan bahwa “belajar merupakan suatu prosesi yang
mengakibatkan adanya perubahan perilaku (change
in behaviour or performance), ini berarti setelah selesai belajar individu
mengalami perubahan dalam perilakunya”.[4]
Jadi menurut teori konstruktivisme, belajar
adalah kegiatan yang aktif dimana siswa membangun sendiri pengetahuannya dan
mencari sendiri makna dari sesuatu yang mereka pelajari. Konstruktivisme sebenarnya bukan merupakan gagasan yang baru, apa yang
dilalui dalam kehidupan kita selama ini merupakan himpunan dan pembinaan pengalaman
demi pengalaman. Ini menyebabkan seseorang mempunyai pengetahuan dan menjadi
lebih dinamis.
Konstruktivisme memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
a)
Pengetahuan
dibangun oleh siswa sendiri.
b)
Pengetahuan tidak dapat dipindahkan dari
guru ke murid, kecuali hanya dengan keaktifan murid sendiri untuk menalar.
c)
Murid aktif mengkonstruksi secara terus
menerus, sehingga selalu terjadi perubahan konsep ilmiah.
d) Guru sekedar membantu menyediakan saran dan situasi agar proses konstruksi
berjalan lancar.
Adapun tujuan dari teori
konstruktivisme adalah sebagai berikut:
a) Adanya motivasi untuk siswa bahwa belajar adalah
tanggung jawab siswa itu sendiri.
b) Mengembangkan pengetahuan siswa untuk mengajukan
pertanyaan dan mencari sendiri pertanyaannya.
c) Membantu siswa untuk mengembangkan pengertian dan
pemahaman konsep secara lengkap.
d) Mengembangkan kemampuan siswa untuk menjadi pemikir
yang mandiri.
e) Lebih menekankan pada proses belajar bagaimana
belajar itu.[6]
Menurut Slavin (dalam Muhammad Nur) “teori konstruktivisme ini
menyatakan bahwa siswa harus menemukan sendiri dan mentransformasikan informasi
kompleks, mengecek informasi baru dengan aturan-aturan lama dan merefisinya
apabila aturan-aturan itu tidak benar”.[7] John
Dewey dalam Yuni Hartati mengatakan bahwa “dalam teori konstruktivisme,
pendidik yang cakap harus melaksanakan pengajaran dan pembelajaran sebagai
proses menyusun atau membina pengalaman secara lanjut atau kontinu.”[8] Dari penjelasan tersebut dapat dipahami bahwa
agar siswa benar-benar memahami dan dapat menerapkan pengetahuan, mereka harus
bekerja memecahkan masalah menemukan segala sesuatu untuk dirinya, dan
berusahan dengan sungguh-sungguh melalui pengajaran dan pembelajaran yang
berkelanjutan.
Yang terpenting dari teori belajar
konstruktivisme adalah guru tidak boleh hanya semata-mata memberikan
pengetahuan kepada siswa. Siswa harus membangun pengetahuan didalam pikirannya
sendiri. Seorang guru dapat membantu proses ini dengan cara-cara mengajar yang
membuat informasi menjadi sangat bermakna dan sangat relevan bagi siswa, dengan
memberikan kesempatan kepada siswa untuk menemukan atau menerapkan sendiri
ide-ide dan dengan mengajak siswa agar menyadari dan menggunakan
strategi-strategi mereka sendiri untuk belajar.
Dalam mengajar menurut
konstruktivisme, terdapat kelebihan dan kekurangan, yaitu:[9]
1.
Kelebihan konstruksivisme
a)
Berfikir, dalam proses
membina pengetahuan baru, murid berfikir untuk mencari ide, menyelesaikan masalah,
dan membuat keputusan.
b)
Faham, oleh karena murid
terlibat secara langsung dalam membina pengetahuan baru, mereka akan lebih
faham dan boleh mengaplikasikannya dalam semua situasi.
c)
Ingat, oleh karena murid
terlibat secara langsung dengan aktif, mereka akan lebih lama mengingat semua
konsep.
d)
Kemahiran sosial, kemahiran
sosial diperoleh apabila berinteraksi dengan rekan dan guru dalam membina
pengetahuan baru.
e)
Seronok, oleh karena mereka
terlibat secara terus, mereka faham, ingat, yakin dan berinteraksi dengan
sehat, maka meraka akan merasa seronok belajar dalam membina pengetahuan baru.
2.
Kekurangan konstruktivisme
“Dalam bahasan kekurangan atau kelemahan ini mungkin bisa kita
lihat dalam proses belajarnya dimana peran guru sebagai pendidik sepertinya kurang
begitu mendukung, siswa berbeda persepsi satu dengan yang lainnya”.
Teori konstruktivisme bermula dari gagasan Piaget. Selanjutnya Piaget
(dalam Ruseffendi) menjelaskan bahwa “pengetahuan dibangun dalam pikiran anak
melalui asimilasi dan akomodasi. Asimilasi adalah penyerapan informasi baru
dalam pikiran sedangkan akomodasi adalah menyusun kembali struktur pikiran
karena adanya informasi baru sehingga informasi tersebut mempunyai tempat”.[10] Pengertian
lain menurut Asri Budiningsih menyatakan bahwa “Asimilasi
adalah proses perubahan apa yang dipahami sesuai dengan struktur kognitif yang
ada sekarang, sementara akomodasi adalah proses perubahan struktur kognitif
sehingga dapat dipahami”.[11]
Dengan kata lain, apabila individu menerima informasi atau pengalaman baru maka
informasi tersebut akan dimodifikasi sehingga cocok dengan struktur kognitif
yang telah dipunyainya, proses ini disebut asimilasi. Sebaliknya, apabila
struktur kognitif yang sudah dimiliknya yang harus disesuaikan dengan informasi
yang diterima, maka hal ini disebut akomodasi.
Dari beberapa pandangan di atas, dapat disimpulkan bahwa pembelajaran yang
mengacu kepada teori belajar konstruktivisme lebih menfokuskan pada kesuksesan
siswa dalam mengorganisasikan pengalaman mereka. Bukan kepatuhan siswa dalam
refleksi atas apa yang telah diperintahkan dan dilakukan oleh guru. Dengan kata
lain, siswa lebih diutamakan untuk mengkonstruksi sendiri pengetahuan mereka
melalui asimilasi dan akomodasi.
B.
Pengertian
Pendekatan Pembelajaran
Perlu dipahami bahwa strategi, metode, pendekatan, dan teknik mengajar mempunyai satu tujuan yang sama, yaitu agar tujuan pembelajaran dapat dicapai dengan hasil yang memuaskan dan maksimal. Kalau belajar
dikatakan kegiatan siswa, maka mengajar dikatakan kegiatan guru, jadi
pembelajaran adalah suatu proses interaksi antara individu dengan lingkungan
yang di dalammya terdapat unsur pemberi informasi/pengetahuan yaitu guru dan
penerima informasi yaitu siswa.
Istilah pembelajaran merupakan padanan dari kata dalam bahasa Inggris
instruction, yang berarti proses membuat
orang belajar. Menurut Sadiman (dalam Indah Komsiyah) “Pembelajaran adalah suatu usaha untuk membuat
peserta didik belajar atau suatu kegiatan untuk membelajarkan peserta didik. Dengan kata lain,
pembelajaran merupakan upaya menciptakan kondisi agar terjadi kegiatan belajar.”.[12]
Tujuannya ialah membantu orang belajar, atau memanipulasi (merekayasa)
lingkungan sehingga memberi kemudahan bagi orang yang belajar.
Gagne dan
Biggs (dalam Departemen Pendidikan Nasional) mendefinisikan pembelajaran sebagai
suatu rangkaian events (kejadian,
peristiwa, kondisi, dsb) yang secara sengaja dirancang untuk mempengaruhi
peserta didik (pembelajaran), sehingga proses belajarnya dapat berlangsung
dengan mudah.[13] Pembelajaran bukan
hanya terbatas pada peristiwa yang dilakukan oleh guru saja, melainkan mencakup
semua peristiwa yang mempunyai pengaruh langsung pada proses belajar manusia.
Pembelajaran mencakup pula kejadian-kejadian yang dimuat dalam bahan-bahan
cetak, gambar, program radio, televisi, film, slide maupun kombinasi dari
bahan-bahan tersebut.
Di dalam
proses pembelajaran, guru sebagai pengajar sekaligus pendidik memegang peranan
dan tanggung jawab yang besar dalam rangka membantu meningkatkan keberhasilan
peserta didik dalam mencapai hasil belajar yang baik. Hasil belajar yang baik
hanya dicapai melalui proses belajar yang baik pula. Jika proses belajar tidak
optimal sangat sulit diharapkan terjadinya hasil belajar yang baik.
Setiap
orang atau dengan kata lain guru mempunyai cara yang berbeda dalam melaksanakan
suatu kegiatan dalam pembelajaran. Biasanya cara tersebut telah direncanakan
terlebih dahulu sebelum pelaksanaan kegiatan itu dilaksanakan. Bila belum
mencapai hasil yang optimal, mereka berusaha mencari cara lain yang dapat
mencapai tujuannya. Proses tersebut menunjukkan bahwa orang selalu berusaha
mencari cara terbaik untuk mendapatkan hasil yang diharapkan. Salah satu cara
yang dapat ditempuh untuk mencapai hasil belajar yang optimal adalah dengan
melakukan pendekatan pembelajaran. Menurut Lawson:
Pendekatan belajar dapat dipahami sebagai
segala cara atau strategi yang digunakan siswa dalam menunjang keefektifan dan
efesiensi proses pembelajaran materi tertentu. Strategi dalam hal ini berarti
seperangkat lankgkah operasioanal yang rekayasa sedemikian rupa untuk
memecahkan masalah atau tujuan belajar tertentu.[14]
Menurut Muhibbin Syah “pendekatan
belajar (approach to learning) yaitu jenis upaya belajar yang meliputi
strategi, model dan metode yang digunakan siswa untuk melakukan pembelajaran
materi-materi pelajaran”.[15]
Dari pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa pendekatan pembelajaran dapat diartikan sebagai
titik tolak
atau sudut pandang terhadap proses pembelajaran, yang merujuk pada pandangan tentang
terjadinya suatu proses yang
sifatnya masih sangat
umum, di dalamnya mewadahi, menginspirasi, menguatkan, dan melatari metode
pembelajaran dengan cakupan teoritis tertentu.
C.
Pengertian
Pembelajaran Kontekstual
Pembelajaran bukan sekedar
memberikan pengetahuan, nilai atau pelatihan keterampilan, melainkan berfungsi
mengaktualisasi potensi dan mengembangkan kemampuan siswa. Setiap siswa
memiliki potensi dan pengetahuan awal (pengalaman), maka peran guru memberdayakan
siswa agar potensi dan pengetahuannya tersebut bermanfaat bagi kehidupannya.
Inovasi
pendidikan telah banyak dihasilkan melalui kajian secara teoritis dan empiris,
tetapi diseminasi dan sosialisasinya masih belum berhasil mengubah praktik
pembelajaran. Salah satu inovasi pendidikan tersebut adalah strategi pembelajara
yang mendorong siswa membangun pengetahuan yang dikenal dengan pendekatan
kontekstual.
Kata
kontekstual diambil dari bahasa Inggris yaitu contextual kemudian diserap ke dalam bahasa Indonesia menjadi
kontekstual. Kontekstual memiliki arti berhubungan dengan konteks atau dalam
konteks. Konteks membawa maksud keadaan, situasi dan kejadian.[16] Menurut
pendapat Nurhadi pembelajaran kontekstual adalah “konsep belajar yang membantu
guru menggabungkan isi pelajaran dengan dunia nyata, dan memotivasi siswa
menghubungkan pengetahuan dengan penerapannya dalam kehidupan mereka sebagai
anggota keluarga dan masyarakat”.[17] Pendekatan
kontekstual bertujuan membekali siswa dengan pengetahuan yang secara fleksibel
dapat diterapkan (ditransfer) dari suatu permasalahan ke permasalahan lain,
dari satu konteks ke konteks lain.[18]
Menurut
Nurhadi pembelajaran kontekstual mendasarkan diri pada kecenderungan pemikiran
tentang belajar sebagai berikut:
a. Proses Belajar
Anak belajar dari mengalami
sendiri, mengkonstruksi pengetahuan, kemudian memberikan makna pada pengetahuan
tersebut.
b. Transfer Belajar
Anak harus tahu makna belajar dan
menggunakan pengetahuan dan keterampilan yang diperolehnya untuk memecahkan
masalah dalam kehidupan.
c. Siswa Sebagai Pembelajar
Manusia mempunyai kecenderungan
untuk belajar dalam bidang tertentu, dan seorang anak mempunyai kecenderungan
untuk belajar dengan cepat hal-hal baru. Tugas guru: mengatur strategi belajar,
membantu menghubungkan pengetahuan lama dan baru dan memfasilitasi belajar.
d. Pentingnya Lingkungan Belajar
Belajar efektif dimulai dari
lingkungan belajar yang berpusat pada siswa. Lupakan tradisi guru akting di
panggung siswa menonton. Ubah menjadi ssiwa aktif bekerja dan belajar di panggung,
guru mengarahkan dari dekat.[19]
Selanjutnya
Nurhadi mengemukakan bahwa “dalam pembelajaran kontekstual memuat dua proses
kegiatan, yakni kegiatan guru proses melakukan atau menjadikan orang lain
(siswa) belajar, dan kegiatan siswa melakukan kegiatan belajar”.[20]
Sedangkan kontekstual memuat makna berhubungan dengan konteks atau situasi yang
ada hubungannya dengan kejadian. Jadi dalam proses pembelajaran ini diharapkan
bahwa melalui pendekatan ini siswa dapat menghubungkan pelajarannya dengan
pengetahuan sebelumnya, konteks saat ini, atau menghubungkannya dengan dunia
luar.
Trianto
mengemukakan pengembangan kontekstual harus berorientasi pada beberapa hal,
yaitu: “(1) Berbasis program; (2) menggunakan multipel konteks; (3)
menggambarkan keanekaragaman pelajaran; (4) mendukung pengaturan belajar
mandiri; (5) menggunakan grup belajar yang saling tergantung; (6) menggunakan assassment yang otentik”.[21]
Sedangkan karakteristik pada kontekstual, yaitu: “(1) Kerja sama; (2) saling
menunjang; (3) menyenangkan, mengasyikkan; (4) tidak membosankan (joyfull, comfortable); (5) belajar
dengan bergairah; (6) pembelajaran terintegrasi; dan (7) menggunakan berbagai
sumber siswa aktif”.[22] Selanjutnya Trianto menyatakan bahwa
kontekstual memiliki elemen belajar yang konstruktivistik, yaitu:
(1) Pengaktifan
pengetahuan yang sudah ada (activating
knowledge); (2) pemerolehan pengetahuan baru (acquiring knowledge); (3) pemahaman pengetahuan (understanding knowledge); (4)
mempraktikkan pengetahuan dan pengalaman (applying
knowledge); dan (5) melakukan refleksi (reflecting
knowledge) terhadap strategi pengembangan pengetahuan tersebut.[23]
Dalam
kelas kontekstual, materi pelajaran akan bermakna jika siswa mempelajari materi
pelajaran yang disajikan melalui konteks kehidupan mereka, dan menemukan arti
dalam proses pembelajaran, sehingga pembelajaran akan menjadi berarti dan
menyenangkan. Siswa akan bekerja keras untuk mencapai tujuan pembelajaran,
mereka menggunakan pengalaman dan pengetahuan sebelum untuk membangun
pengetahuan baru. Dan selanjutnya siswa memanfaatkan kembali pemahaman pengetahuan
dan kemampuannya itu dalam berbagai konteks di luar sekolah untuk menyelesaikan
permasalahan dari dunia nyata yang kompleks, baik secara mandiri maupun dengan
berbagai kombinasi dan struktur kelompok.
Jadi
jelas bahwa pemanfaatan pembelajaran kontekstual akan menciptakan ruang kelas
yang di dalamnya siswa akan menjadi peserta aktif bukan hanya pengamat yang
pasif, serta bertanggung jawab terhadap belajarnya. Dalam upaya itu, mereka
memerlukan guru sebagai fasilitator dan mediator. Guru lebih banyak berusaha
dengan strategi dari pada memberi informasi. Tugas guru adalah mengelola kelas
agar menjadi kondusif untuk belajar siswa. Dengan demikian, guru harus memberi
kesempatan dan mendorong siswanya untuk secara aktif berperan dalam proses
belajar. Jika terjadi kendala dalam proses tersebut, guru diharapkan mampu
mengarahkannya. Jadi, pengetahuan atau keterampilan itu akan diterima oleh
siswa sendiri, bukan apa kata guru.
D.
Langkah-Langkah
Pembelajaran Kontekstual
Sebuah
kelas di katakan menggunakan pendekatan kontekstual jika menerapkan ketujuh
komponen berikut ini dalam pembelajarannya. Dan untuk melaksanakan hal itu
secara garis besar, langkahnya adalah sebagai berikut:
1. Konstruktivisme
(constructivism)
Konstrukstivisme adalah
teori belajar dimana siswa menyusun atau membangun sendiri pengertian dan
pemahamannya dari pengalaman baru yang didasarkan pada pengetahuan dan
keyakinan awal yang telah dimilikinya. Wina Sanjaya mengemukakan
“konstruktivisme adalah proses membangun atau menyusun pengetahuan baru dalam
struktur kognitif siswa berdasarkan pengalaman”.[24]
Dalam pandangan konstruktivisme, strategi memperoleh lebih diutamakan
dibandingkan seberapa banyak siswa memperoleh dan mengingat pengetahuan.
Selanjutnya Trianto menyatakan bahwa “siswa perlu dibiasakan untuk memecahkan
masalah, menemukan sesuatu yang berguna bagi dirinya, dan bergelut dengan
ide-ide. Guru tidak akan mampu memberikan semua pengetahuan kepada siswa. Siswa
harus mengkonstruksikan pengetahuan di benak mereka sendiri”.[25]
2. Menemukan
(inquiry)
Inquiri artinya proses
pembelajaran didasarkan pada pencarian dan penemuan melalui proses berfikir
secara sistematis.[26]
Pengetahuan dan keterampilan yang diperoleh siswa diharapkan bukan hasil
mengingat seperangkat fakta-fakta, tetapi hasil dari menemukan sendiri.[27]
Guru harus selalu merancang kegiatan yang merujuk pada kegiatan menemukan,
apapun materi yang diajarkannya.
3. Bertanya
(questioning)
Pengetahuan
yang dimiliki seseorang, selalu bermula dari “bertanya”. Penggunaan pertanyaan
di dalam kelas menurut pendapat Nurhadi adalah “dapat diterapkan antara siswa
dengan siswa, guru dengan siswa, siswa dengan guru, dan siswa dengan orang lain
di datangkan di kelas”.[28] Dalam
sebuah pembelajaran yang produktif, kegiatan bertanya berguna untuk:
(a) Menggali
informasi, baik administrasi dan akademis; (b) mengecek pemahaman siswa; (c)
membangkitkan respon kepada siswa; (d) mengetahui sejauh mana keingintahuan
siswa; (e) mengetahui hal-hal yang sudah diketahui siswa; (f) memfokuskan
perhatian siswa pada sesuatu yang dikehendaki guru; (g) membangkitkan lebih
banyak lagi pertanyaan dari siswa; dan (h) menyegarkan kembali pengetahuan
siswa.
4. Masyarakat
belajar ( learning community)
Masyarakat belajar bisa
terjadi apabila ada proses komunitas dua arah. Hasil belajar diperoleh dari
sharing antara teman, antar kelompok, dan antara yang sudah tahu ke yang belum
tahu. Dua kelompok atau lebih yang terlibat dalam komunikasi pembelajaran saling
belajar. Di dalam masyarakat belajar ini setiap orang harus bersedia untuk
berbicara dan berbagai pendapat, mendengarkan pendapat orang lain dan
berkolaborasi membangun pengetahuan dengan orang lain dalam kelompoknya.
5. Pemodelan
(modeling)
Modeling merupakan
proses pembelajaran dengan memperagakan sesuatu sebagai contoh yang dapat
ditiru oleh setiap siswa.[29]
Dalam pembelajaran kontekstual, guru bukan satu-satunya model. Pemodelan dapat
dirancang dengan melibatkan siswa. Seseorang dapat ditunjuk untuk memodelkan
sesuatu berdasarkan pengalaman yang diketahuinya. Model dapat juga didatangkan
dari luar yang ahli dibidangnya. Ada empat fase belajar dari model yaitu: (a)
fase perhatian; (b) fase retensi; (c) fase reproduksi; (d) fase motivasi.[30]
6. Refleksi
(reflection)
Reflektif adalah cara
berfikir tentang apa yang baru dipelajari atau berfikir ke belakang tentang
apa-apa yang sudah kita lakukan di masa yang lalu.[31]
Melalui reflektif siswa bisa mereviu peristiwa, kegiatan, pengalaman,
memikirkan apa yang dipelajarinya, bagaimana perasaannya, dan bagaimana
memanfaatkan pengetahuan yang baru dipelajarinya. Dalam proses pembelajaran
dengan menggunakan kontekstual, setiap berakhir proses pembelajaran, guru
memberikan kesempatan kepada siswa untuk “merenung” atau mengingat kembali apa
yang telah dipelajarinya.[32]
7. Penilaian
yang sebenarnya (authentic assessment)
Penilaian yang
sebenarnya adalah proses yang dilakukan guru untuk mengumpulkan informasi
tentang perkembangan belajar yang dilakukan siswa.[33]
Penilaian yang autentik dilakukan secara terintegrasi dengan proses
pembelajaran. Penilaian ini dilakukan secara terus-menerus selama kegiatan
pembelajaran berlangsung. Oleh sebab itu, tekanannya diarahkan kepada proses
belajar bukan kepada hasil belajar.
E.
Materi
Statistika di SMK
Materi
statistika dalam penulisan ini disadur dari buku matematika untuk SMA kelas X yang
diterbitkan oleh Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia 2013.
1.
Pengertian
Statistik
Banyak persoalan
dinyatakan dan dicatat dalam bentuk bilangan atau angka-angka.
Kumpulan angka-angka itu sering
disusun atau disajikan
dalam bentuk daftar atau tabel. Sering daftar atau tabel tersebut
disertai dengan gambar-gambar, dan
disebut dengan statistik. Jadi
kata statistik telah dipakai untuk menyatakan kumpulan data, bilangan maupun non bilangan
yang disusun dalam tabel dan atau diagram, yang menggambarkan suatu
persoalan. Statistik yang menjelaskan sesuatu hal biasanya diberi nama
statistik mengenai hal yang bersangkutan. Misal statistik penduduk, statistik
kelahiran dan
lain sebagainya.
2.
Pengertian
Statistika
Dari hasil pengamatan atau penelitian,
dalam laporannya sering diperlukan suatu uraian,
penjelasan atau kesimpulan tentang persoalan
yang diamati atau diteliti. Sebelum
membuat kesimpulan, keterangan atau data yang
terkumpul terlebih dahulu dipelajari, diolah atau dianalisis, dan berdasarkan
pengolahan data inilah baru dibuat kesimpulan. Mulai dari pengumpulan data, pengolahan data dan pengambilan kesimpulan haruslah mengikuti cara-cara yang benar dan dapat dipertanggungjawabkan. Ini semua
merupakan pengetahuan tersendiri
yang dinamakan dengan statistika. Jadi statistika adalah pengetahuan yang berhubungan dengan cara-cara pengumpulan data, pengolahan atau penganalisisannya dan penarikan
kesimpulan berdasarkan kumpulan data dan penganalisisan yang dilakukan.
3. Pengumpulan Data
Statistika
tak pernah bisa lepas dengan yang namanya data, data merupakan sekumpulan datum
yang dimana datum itu sendiri merupakan fakta tunggal. Totalitas semua nilai
(data) yang mungkin, hasil menghitung ataupun mengukur, kuantitatif maupun kualitatif mengenai karakteristik
tertentu dari semua anggota kumpulan yang lengkap dan jelas yang ingin
dipelajari sifat- sifatnya disebut populasi. Sebagian
yang diambil dari
populasi disebut sampel.
4. Penyajian Data
Penyajian
data merupakan salah satu elemen penting dalam mempelajari statistika. Penyajian
data yang baik akan mempermudah kita utuk membaca dan mengolah data tersebut. Untuk keperluan laporan
atau analisis yang lain, data yang dikumpulkan,
baik data dari populasi ataupun sampel, perlu diatur, disusun, disajikan
dalam bentuk yang jelas dan baik. Ada 2 macam penyajian
data yang sering
dipakai, yaitu tabel atau daftar
dan
grafik
atau diagram/ plot.
a. Penyajian Data dalam Bentuk Tabel
Pada dasarnya ada 2 macam tabel yang
dikenal, yaitu tabel biasa dan tabel distribusi frekuensi.
1. Tabel Biasa
Nama nama bagian tabel adalah judul tabel, judul kolom, judul baris, sel, dan sumber.
Adapun garis besar sebuah tabel dengan nama-nama bagiannya adalah sebagi berikut:
JUDUL TABEL
Judul kolom
|
Judul kolom
|
Judul kolom
|
Judul kolom
|
|
Judul
Baris
|
||||
Sel
|
||||
Sel
|
||||
Sumber
Data
Judul tabel ditulis di tengah-tengah
paling atas dan
ditulis dengan huruf kapital. Judul
tabel memuat apa, macam, klasifikasi, dimana, kapan, dan satuan
data yang digunakan secara singkat.
Judul kolom dan judul baris
ditulis dengan singkat. Sel adalah tempat nilai-nilai
data, dan sumber menjelaskan asal
data. Sebagai
contoh tabel sebagai berikut:
Contoh :
Seorang petugas
administrasi dari SMK Negeri 3 B.Aceh ditugasi untuk mendata banyak lulusan
menurut jenis kelamin dari tahun 2005 sampai 2010. Dia mencatat ada 180 siswa
lulus di tahun 2005 yang terdiri atas 80 perempuan dan 100 laki-laki, 170 siswa
lulus di tahun 2006 yang terdiri atas 90 perempuan dan 80 laki-laki, 185 siswa
lulus di tahun 2007 yang terdiri atas 95 perempuan dan 90 laki-laki, 195 siswa
lulus di tahun 2008 yang terdiri atas 100 perempuan dan 95 laki-laki, 200 siswa
lulus di tahun 2009 yang terdiri atas 100 perempuan dan 100 laki-laki, dan ada
210siswa lulus di tahun 2010 yang terdiri atas 100 perempuan dan 110 laki-laki.
Untuk keperluan laporan agar mudah dibaca, bantulah petugas administrasi untuk
menyajikan dalam bentuk tabel.
Penyelesaian:
Pada kolom pertama
diberikan kategori tahun yang menunjukkan tahun yang diteliti. Kolom kedua
menunjukkan jenis kelamin yang dipisahkan menjadi laki-laki dan perempuan.
Jumlah lulusan perempuan dan laki-laki ditulis sesuai data yang diperoleh.
Kolom ketiga adalah kolom jumlah, yang menunjukkan jumlah lulusan perempuan dan
laki-laki pada tahun tertentu. Berikut ini tabel tentang jumlah siswa yang
lulus dari tahun 2005-2010.
Tahun
lulus
|
Jenis
kelamin
|
Jumlah
siswa lulus
|
|
Perempuan
|
Laki-laki
|
||
2005
|
100
|
180
|
|
2006
|
90
|
80
|
170
|
2007
|
95
|
90
|
185
|
2008
|
100
|
95
|
195
|
2009
|
100
|
100
|
200
|
2010
|
100
|
110
|
210
|
2.
Tabel Distribusi Frekuensi
Tabel distribusi frekuensi terdiri dari dua jenis,
yaitu tabel distribusi untuk data tunggal dan tabel distribusi untuk data
berkelompok. Berikut ini langkah-langkah
menyusun tabel distribusi frekuensi untuk data berkelompok (berkuantitas besar):
1.
Tentukan rentang (R) yaitu data terbesar dikurangi data terkecil
2.
Tentukan banyak kelas interval (k). Banyak kelas interval yang sering
digunakan berkisar antara 5 dan 15, yang diperoleh menurut keperluan. Pada
tahun 1925, Sturges menemukan aturan daalm pemilihan banyak kelas, yang kemudian
dikenal dengan nama aturan Sturges. Yaitusebagaiberikut: k = 1 + (3,3) log n
3.
Tentukan panjang interval kelas, yaitu dengan aturan rentang dibagi banyak kelas.
4.
Interval-interval kelas tersebut diletakkan dalam suatu kolom, kemudian diurutkan dari interval kelas terendah pada baris paling atas dan seterusnya
5.
Data diperiksa dan dimasukkan ke dalam interval kelas yang sesuai. Banyak data yang masuk dalam suatu interval kelas dinamakan frekuensi interval kelas.
Contoh:
Diberikan data
hasil ulangan akhir semester dari 80 siswa kelas X SMA Y untuk bidang studi
matematika sebagai berikut.
35 50
57 61 65
70 74 75
80 86 89
96 38 50
57 63 66
70 76 80
86 89
98 40 51
57 67 70
76 81 87
90 99 43
58 67 71 77
81 87
90 99 60 68
71 77 82
87 90 60
69 72 78
82 88 91
60 69 72 79
83 88
92 61 73
70 83 88
92 69 74
79 84 89
92 79 93
74 73 74
Sajikan data
tersebut dalam tabel distribusi frekuensi.
Penyelesaian:
1.
R = Data terbesar – Data terkecil
R = 99 – 35
R = 6
2.
K = 1 + 3,3 log n
K = 1 + 3,3 log 80
K = 1 + 3,3 (1,903)
K = 1 + 6,2799
K = 7,2799 dibulatkan menjadi 7 atau 8
3.
P =
P =
P = 9,14
Intervak kelas
|
Frekuensi
|
35 – 44
|
4
|
45 – 54
|
3
|
55 – 64
|
10
|
65 – 74
|
22
|
75 – 84
|
18
|
85 – 94
|
19
|
94 – 104
|
4
|
Jumlah
|
80
|
b.
Penyajian
Data dalam Bentuk Diagram/ Plot.
Secara
garis besar penyajian data dalam bentuk diagram/ plot dibagi menjadi 2 macam,
yaitu diagram untuk data tunggal dan diagram untuk data berkelompok.
1.
Diagram
Untuk Data Tunggal
Data
tunggal merupakan data berkuantitas kecil. Penyajian data tunggal dalam bentuk
diagram/ plot dapat dibedakan menjadi 4, diantaranya sebagai berikut:
a. Diagram
batang
Diagram batang adalah
bentuk penyajian data statistik dalam bentuk batang yang dicatat dalam interval
tertentu pada bidang cartesius. Ada dau jenis diagram batang, yaitu diagram
batang horizontal dan diagram batang vertikal.
b. Diagram
garis
Seperti halnya diagram
batang, diagram garis memerlukan sistem sumbu datar (horizontal) dan sumbu
tegak (vertikal) yang saling berpotongan tegak lurus. Sumbu mendatar biasanya
menyatakan jenis data, misalnya waktu dan berat.adapun sumbu tegaknya
menyatakan frekuensi data.
Langkah-langkah untuk
membuat diagaram garis adalah sebagai berikut:
1. Buatlah
suatu koordinat (berbentuk bilangan) dengan sumbu mendatar menunjukkan waktu
dan sumbu tegak menunjukkan data pengamatan.
2. Gambarlah
titik koordinat yang menunjukkan data pengamatan pada waktu t.
3. Secara
berurutan sesuai dengan waktu, hubungkan titik-titik koordinat tersebut dengan
garis garis lurus.
c. Diagram
lingkaran
Diagram lingkaran adalah penyajian data statistik dengan menggunakan
gambar yang berbentuk lingkaran. Bagian-bagian dari daerah lingkaran
menunjukkan bagian-bagian atau persen dari keseluruhan. Untuk membuat diagram lingkaran,
terlebih dahulu ditentukan besarnya persentase tiap objek terhadap keseluruhan
data dan besarnya sudut pusat sektor lingkaran. Diagram lingkaran terbagi
menjadi juring-juring lingkaran yang luasnya disesuaikan dengan data yang ada.
Untuk itu perlu ditentukan besar sudut pusat dari setiap juring tersebut.
Rumus persentase
Rumus derajat (o) =
Langkah-langkah untuk
membuat diagram lingkaran adalah sebagai berikut:
1.
Buatlah sebuah lingkaran
pada kertas.
2.
Bagilah lingkaran tersebut
menjadi beberapa juring lingkaran untuk menggambarkan kategori yang datanya
telah diubah ke dalam derajat.
d. Diagram
gambar
Diagram gambar atau
juga disebut dengan diagram simbul ialah suatu diagram yang menggambarkan
simbul. Simbul dari data sebagai alat visual untuk orang awam. Misalnya, hutan
digambarkan dengan pohon, listrik digambarkan dengan bola lampu.
Contoh:
Berikut ini data banyaknya siswa kelas X-BS yang tidak masuk dalam
7 hari berterut-turut. Sajikanlah data tersebut dalam bentuk diagram/ plot.
Hari
|
1
|
2
|
3
|
4
|
5
|
6
|
7
|
Banyak
siswa absen
|
5
|
15
|
10
|
15
|
20
|
25
|
10
|
Penyelesaian:
a.
Diagram
batang
Diagram batang vertikal Diagram batang
horizontal
b.
Diagram
garis
c.
Diagram
lingkaran
Data dalam
persentase:
Hari
ke-1 = . 100% = 5%
Hari
ke-2 = . 100% = 15%
Hari
ke-3 = . 100% = 10%
Hari
ke-4 = . 100% = 15%
Hari
ke-5 = . 100% = 20%
Hari
ke-6 = . 100% = 25%
Hari
ke-7 = . 100% = 10%
Data dalam derajat:
Hari
ke-1 = . 360o = 18o
Hari
ke-2 = . 360o = 54o
Hari
ke-3 = . 360o = 36o
Hari
ke-4 = . 360o = 54o
Hari
ke-5 = . 360o = 72o
Hari
ke-6 = . 360o = 90o
Hari
ke-7 = . 360o = 36o
Diagram
gambar
Hari
|
Jumlah
siswa absen ( = 5 orang)
|
1
|
|
2
|
|
3
|
|
4
|
|
5
|
|
6
|
|
7
|
2.
Diagram
Untuk Data Berkelompok
Data berkelompok
merupakan data berkuantitas besar. Penyajian data berkelompok dapat disajikan
dalam beberapa diagram, di sini akan dibahas diagram histogram dan poligon. Sebelum disajikan dalam bentuk
diagram, data terlebih dahulu di sajikan dalam bentuk tabel distribusi
frekuensi bergolong.
a.
Diagram histogram
Jika pada diagram
batang, gambar batang-batangnya terpisah maka pada diagram histogram gambar
batang-batangnya berimpit.
b.
Diagram poligon
Apabila pada
titik-titik tengah dari histogram dihubungkan dengan garis dan batang-batangnya
dihapus, maka akan diperoleh diagram poligon.
Contoh:
Hasil pengukuran berat
badan terhadap 100 siswa SMK X digambarkan dalam distribusi bergolong seperti
di bawah ini. Sajikan data tersebut dalam histogram dan poligon frekuensi.
Berat
Badan (Kg)
|
Titik
Tengah
|
Frekuensi
|
15
– 19
|
17
|
2
|
20
– 24
|
22
|
10
|
25
– 29
|
27
|
19
|
30
– 34
|
32
|
27
|
35
– 39
|
37
|
16
|
40
– 44
|
42
|
10
|
45
– 49
|
47
|
6
|
50
– 54
|
52
|
5
|
55-
59
|
57
|
3
|
60
– 64
|
62
|
2
|
100
|
Penyelesaian:
Histogram
dan poligon frekuensi dari tabel di atas dapat ditunjukkan sebagai berikut.
F.
Langkah-Langkah
Pembelajaran Materi Statistika Dengan Pembelajaran Kontekstual
Semua kemajuan dan perkembangan
zaman serta peradaban manusia selalu tidak terlepas dari unsur matematika. Oleh
karena itu wajar bila matematika
menjadi induk dari segala ilmu pengetahuan di dunia ini.
Banyak sekali manfaat mempelajari matematika dalam kehidupan sehari-hari. Dalam
kaitannya dengan materi statistika, statistika tidak hanya bertumpu pada
angka-angka untuk pemerintahan saja, tetapi telah mengambil bagian dalam berbagai bidang kehidupan, termasuk
penelitian-penelitian pada hampir seluruh cabang ilmu. Pada saat statistika
digunakan dengan benar dan sesuai kegunaannya, statistika dapat menunjukkan
trend, pola, atau karakteristik dalam apa yang dipelajari di masa lalu dan masa
sekarang serta statistika dapat berguna dalam memperkirakan apa yang mungkin
terjadi di masa depan.
Pendekatan
kontekstual merupakan salah satu metode mengajar yang sangat menunjang
keberhasilan suatu proses belajar untuk menuju hasil yang sangat baik dan juga
bertujuan untuk memotivasi siswa untuk memahami makna materi pelajaran yang dipelajarinya
dengan mengaitkan materi tersebut dalam kehidupan sehari-hari.
Adapun
langkah-langkah pembelajaran materi statistika dengan pendekatan kontekstual
adalah sebagai berikut:
1. Kegiatan
pendahuluan
Pada
tahap ini sebelum dilaksanakan pembelajaran, guru mengadakan tes awal yang
berkenaan dengan materi Statistika. Hal ini dilakukan untuk melihat homogenitas
kemampuan siswa yang akan diajarkan, kemudian guru menyampaikan tujuan
pembelajaran serta menjelaskan manfaat dari pembelajaran materi Statistika.
2. Kegiatan
inti
Pada kegiatan inti,
pembelajaran dibagi dalam beberapa tahap, yaitu:
a. Contrukstivism
Mengembangkan pemikiran
siswa untuk menyusun dan membangun pemahaman dari pengalaman belajar awal yang
telah dimiliki siswa tentang materi Statistika dengan menampilkan/ memperlihat
diagram batang.
b. Inquiri
Memotivasi siswa untuk
mencari dan menemukan hal-hal yang tersirat dalam diagram batang yang di
tampilkan tersebut dengan pola pikir yang sistematis.
c. Questioning
Membangkitkan respon
siswa tentang hal-hal yang tersirat dalam diagram batang tersebut melalui
beberapa pertanyaan dan cara penyajian data dalam bentuk tabel dan diagram/
plot.
d. Learning
community
Siswa belajar
berkelompok untuk saling sharing, berbagi pendapat, mendengarkan pendapat orang
lain serta berkolaborasi membangun pengetahuannya melalui LKS tentang materi
Statistika.
e. Modeling
Dalam menyelesaikan LKS,
siswa di berikan kebebasan dalam berkarya untuk menyajikan data dalam bentuk
tabel dan diagram/ plot.
f. Reflection
Berfikir ke belakang
atau mengingat-ingat apa yang telah di pelajari berdasarkan peristiwa, kegiatan
dan pengalaman yang di dapat dalam pembelajaran untuk menyelesaikan LKS.
g. Authentic
assessment
Tahap ini merupakan
proses mengumpulkan informasi tentang perkembangan belajar siswa dilakukan
secara terintegrasi dengan proses pembelajaran dan terus-menerus selama
kegiatan pembelajaran berlangsung.
3. Kegiatan
penutup
Kegiatan yang dilakukan
pada tahap ini adalah guru membimbing siswa untuk menarik kesimpulan dan
merangkum materi Statistika serta menutup kegiatan belajar mengajar.
[1] Lestari Dewi, Teori-Teori Belajar dan Pembelajaran, http//:seputar pendidikan003.blogspot.com,
2013, di akses 09 April 2015.
[2] Rahmah Johar, Strategi Belajar Mengajar, (Banda Aeh:
FKIP Unsiyah, 2006), hal. 15.
[3] Ibid, hal. 68.
[4] Bimo Walgito, Pengantar Psikologi Umum, (Yogyakarta:
Andi, 2004), hal. 167.
[5] Surianto, Teori Belajar Konstruktivisme, (online) http://kompasiana.com, 2011, di akses 09 April
2015.
[6] Wigih Adi Wibawa, Teori Belajar Konstruktivisme, http://wiare.blogspot.com,
2013, di akses 09 April 2015.
[7] Muhammad Nur, Pendekatan-pendekatan Konstruktivisme dalam
Pembelajaran, (Surabaya: IKIP Surabaya, 1998), hal. 8.
[8] Yuni Hartati, Pembelajaran
Pengalaman, (Jakarta: Cipta Persada, 2004), hal. 42.
[9] Wigih Adi Wibawa, Teori Belajar Konstruktivisme, http://wiare.blogspot.com,
2013, di akses 09 April 2015.
[10] Ruseffendi, Dasar-dasar Matematika Modern dan Komputer,
(Bandung: Tarsito, 1998), hal 133.
[11] Asri Budiningsih, Belajar dan Pembelajaran, (Jakarta:
Rineka Cipta, 2005), hal. 31.
[12] Indah Komsiyah, Belajar dan Pembelajaran, (Yogyakarta: Teras, 2012), hal. 3-4.
[13] Departemen Pendidikan
Nasional, Panduan Penyelenggaraan
Pembelajaran Tuntas, (Jakarta: Dirjen Dikdasmen, 2008), hal. 5.
[14] Lawson, Faktor
Pendekatan Belajar, (online), husamah.staff.umm.ac.id, diakses 09 April
2015.
[16] Epon Ningrum, Pengembangan Strategi Pembelajaran,
(Bandung: CV Putra Setia, 2013), hal. 128.
[17] Nurhadi, Pembelajaran Kontekstual dan Penerapannya
dalam KBK, (Malang: Universitas Negeri Malang, 2004), hal. 13.
[18] Epon Ningrum, Pengembangan Strategi..., hal. 131.
[19] Nurhadi, Pembelajaran
Kontekstual..., hal. 58.
[20] Ibid
[21] Trianto, Mendesain
Model Pembelajaran Inovatif-Progresif: Konsep, Landasan, Dan Implementasi Pada
KTSP, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2009), hal. 110.
[22] Ibid
[23] Ibid
[24] Wina Sanjaya, Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar
Proses Pendidikan, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2012), hal. 264.
[25] Trianto, Mendesain Model..., hal. 113.
[26] Wina
Sanjaya,
Strategi Pembelajaran..., hal. 265.
[27] Trianto, Mendesain Model..., hal. 114.
[28] Nurhadi, Pembelajaran Kontekstual..., hal. 11.
[29] Wina Sanjaya, Strategi Pembelajaran..., hal. 267.
[30] Dahar, R. W., Teori-teori Belajar, (Jakarta:
Depdikbud, 1998), hal. 34.
[31] Trianto, Mendesain Model..., hal. 117-118.
[32] Wina Sanjaya, Strategi Pembelajaran..., hal. 268.
makasih postingannya pak
ReplyDelete