Makalah
IMPLEMENTASI KEBIJAKAN BADAN HUKUM PENDIDIKAN
KATA PENGANTAR
Fuji
dan syukur penulis ucapkan kepada Allah SWT. yang telah memberikan waktu dan
kesempatan kepada penulis, sehingga dengan izin-Nya penulis dapat menyelesaikan
makalah yang amat sederhana ini. Demikian juga salawat dan salam tidak lupa
penulis sampaikan kepada Rasulullah Muhammad SAW. sebagai tokoh panutan yang
telah melakukan revolusi dalam kehidupan umat manusia, baik dalam bidang agama
dan kepercayaan maupun di bidang ilmu pengetahuan dan peradaban, serta yang
lainnya.
Makalah
ini merupakan salah satu tugas yang menjadi prasyarat dalam mengikuti mata
kuliah "Analisis Kebijakan Pendidikan". Dalam hal ini penulis
mengucapkan terima kasih kepada Ibu Dr. Murniati, A.R. M.Pd. selaku dosen
pembimbing yang telah memberikan tugas ini kepada penulis, sehingga penulis
berusaha untuk menyelesaikan tugas ini sesuai dengan kemampuan yang ada pada
penulis.
Dalam
menyelesaikan tugas ini penulis mengalami berbagai kesulitan, antara lain
sulitnya memperoleh bahan bacaan yang berhubungan dengan BHP karena merupakan
kebijakan yang baru dilaksanakan, namun dengan berbagai upaya penulis berusaha
untuk memberanikan diri dengan memanfaatkan sumber-sumber yang ada. Penulis
menyadari bahwa analisis yang dilakukan mempunyai berbagai kelemahan, terutama
sekali dalam melakukan pemahaman terhadap bahasa undang-undang. Oleh sebab itu
kritikan dan saran sangat penulis harapkan sebagai kontribusi dalam
penyempurnaan makalah ini.
Wassalam
Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR .................................................................................
DAFTAR ISI .................................................................................................
BAB I PENDAHULUAN .............................................................................
A. Latar Belakang ................................................................................
B. Fokus Masalah.................................................................................
BAB II KEBIJAKAN BADAN HUKUM PENDIDIKAN........................
A. Latar Belakang lahirnya UU BHP...................................................
B. Ketentuan Pokok Dalam UU BHP .................................................
C. Esensi Kebijakan Baru.....................................................................
D. Faktor Pendukung/Pembenaran Kebijakan .....................................
E. FaktorPenghambat/BantahanKebijakan ..........................................
F.
Esensi Dari Kebijakan Baru ............................................................
BABIII PENUTUP .......................................................................................
A. Kesimpulan .....................................................................................
B.
Saran .............................................................................................
DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Upaya peningkatan kualitas sumber daya manusia merupakan
hal yang mutlak dilakukan dalam rangka mempercepat pencapaian tujuan
pembangunan nasional. Melalui sumber daya manusia yang berkualitas akan
melahirkan insan-insan pembangunan yang cerdas dan kompetitif dalam meneruskan
berbagai tugas-tugas pembangunan bangsa.
Dalam era globalisasi sekarang ini, keberadaan kualitas
sumber daya manusia yang dimiliki oleh suatu bangsa sangat menentukan maju atau
mundurnya bangsa tersebut dalam bersaing dengan bangsa-bangsa lainnya di dunia.
Pada akhirnya bangsa-bangsa yang memiliki sumber daya manusia yang handal akan
mendominasi berbagai sisi kehidupan masyarakat dan bangsa yang kualitas sumber
daya manusianya rendah. Oleh sebab itu berbagai upaya terus dilakukan oleh
pemerintah dalam rangka mengembangkan kualitas sumber daya warga negaranya.
Salah satu program yang dapat menyiapkan dan merekayasa
arah perkembangan masyarakat Indonesia masa depan ialah pendidikan. Di dalam UU
Sisdiknas No. 20 tahun 2003 ditegaskan bahwa pendidikan nasional berfungsi
mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang
bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk
berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan
bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia. sehat., kreatif, mandiri,
dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
Murniati (2008:21) mengemukakan bahwa pendidikan merupakan
salah satu faktor penting dalam pencapaian kemajuan pembangunan. Melalui
penciptaan sumber daya manusia yang ungul dan berkualitas, pendidikan diyakini
akan memberikan kontribusi positif bagi kemajuan dan pembangunan, baik pembangunan
jangka pendek, jangka menengah, maupun jangka panjang. Untuk itu pendidikan dan
semua elemen atau komponen yang terlibat di dalamnya harus diberdayakan ke arah
pencapaian tujuan penciptaan sumber daya manusia yang ungguJ dan berkualitas.
Satu hal yang tidak dapat dipungkiri, UUD 1945
mengamanahkan bahwa tujuan:
Pendidikan nasionaJ adalah "untuk mencerdaskan
kehidupan bangsa". Namun hasil pendidikan yang kita peroleh sekarang
bukannya menjadikan bangsa ini menjadi cerdas, tapi malah sebaliknya semakin
terbelakang. Berdasarkan parameter yang ditetapkan UNDP pada tahun 2000,
pendidikan Indonesia berada pada peringkat 109 dunia.
Kekeliruan yang dilakukan selama ini telah menghasilkan
potret pendidikan Indonesia selama kita merdeka menjadi sangat memprihatinkan.
Menurut Shindunata (2000:71) kondisi pendidikan mencerminkan (1) negara
Indonesia yang berperan mencerdaskan kehidupan bangsa sebagai tulang punggung
pembangunan, namun yang terjadi adalah tragedi, setelah setengah abad merdeka
bangsa ini bukannya semakin cerdas namun tetap bodoh, (2) sistem pendidikan
yang seyogyanya bisa membebaskan anak-anak menjadi manusia utuh bermartabat
justru menjadi alat penyiksa. Ironis dan sungguh sangat memprihatinkan, (3)
sistem pendidikan yang ada telah tergilas oleh kekuatan atau sistem yang lain
sehingga secara pasti tidak memungkinkan arah perjalanannya dapat menuju ke
tujuan pendidikan nasionai, apalagi mencapai tujuan pendidikan nasional itu
sendiri.
Kehancuran pendidikan seperti tersebut di atas, salah satu
faktor penyebabnya adalah sistem birokrasi yang sentralistik, semuanya
bergantung pada pemerintah pusat, Kecendrungan manajemen yang sentralistik
telah menimbulkan berbagai sisi negative, yaitu mematikan inisiatif karena
terdapat unsur paksaan secara interen dari sang atasan. Selain itu budaya feodalisme
yang melahirkan "father figure" lebih banyak menjadi faktor
penghalang bagi tumbuhnya kepemimpinan yang kreatif dan terbuka. (Tilaar.
2008:32).
Melihat keadaan pendidikan nasional yang kebablasan,
menyebabkan lahirnya tuntutan agar pendidikan melakukan reformasi. Seiring
dengan bergulirnya agenda reformasi pada tahun 1998 yang melahirkan kebijakan
Otonomi Daerah, maka dalarn bidang pendidikan juga mengalami perubahan
paradigma dengan dikeluarkannya UU Sisdiknas No. 20 tahun 2003. UU ini merupakan
payung hukum dalam melakukan reformasi pendidikan secara menyeluruh, dengan
memberikan otonomi yang lebih luas dalam pengelolaan pendidikan kepada
institusi dan stakeholdernya.
Sebagai konsekueasi dari UU Sisdiknas tersebut, kemudian
pemerintah mengeluarkan UU No. 9 tahun 2009 tentang Badan Hukum Pendidikan.
B. Fokos Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut di atas, maka yang
menjadi fokus kajian dalam makalah ini adalah :
1.
Faktor apa yang mendorong dikeluarkannya UU BHP ?
2.
Bagaimana bentuk penyelenggaraan pendidikan berdasarkan
ketentuan UU BHP?
3.
Sejauhmana UU BHP dapat mencapai tujuan pendidikan nasional
?
4.
Apa saja sisi positif dan negative penyelenggaraan
pendidikan dengan adanya otonomi pendidikan melalui UU BHP ?
5.
Otonomi yang bagaimana seharusnya dilaksanakan untuk
mencapai tujuan pendidikan nasional ?
BAB II
KEBIJAKAN BADAN HUKUM PENDIDIKAN
A. Latar Belakang Lahirnya UU BHP
Secara intern, pemberlakuan Badan Hukum Pendidikan
dihadapkan dalam keadaan yang serba sulit. Di satu dipihak adanya tuntutan
terhadap reformasi sistem pendidikan nasional melalui otonomi yang lebih luas,
dan di pihak lain diperlukan kesiapan pemerintah untuk mengalokasikan dana yang
lebih besar untuk menciptakan sumber daya pendidikan yang bermutu.
Apabila ditelusuri, pertama secara historis dari inisiatif
kebijakan ini, yakni pada tahun 1999 ketika sudah mulai inisiasi
neoliberalisasi pendidikan melalui dikeluarkannya Peraturan Pemerintah No.
61/1999 tentang Penetapan Perguruan Tinggi Negeri sebagai Badan Hukum Milik
Negara (PTNBKN). Nuansa nalar kapitalis masuk dalam kebijakan tersebut dalam
menetapkan prasyarat perguruan tinggi, yaitu: (1) menyelenggarakan pendidikan
tertinggi dan efisien dan berkualitas, (2) memenuhi standar minimum kelayakan
finansial, (3) melaksanakan pengelolaan perguruan tinggi berdasarkan prinsip
ekonomis dan akuntabilitas. Ketentuan ini disesuaikan dengan dikeluarkannya
Peraturan Pemerintah No. 152, 153, 154, dan 155 tahun 2000 yang menetapkan
Universitas Indonesia (UI), Universitas Gadjah Mada (UGM), Institut Pertanian
Bogor (IPB), dan Inslitut Teknologi Bandung (ITB) menjadi BHMN. Beberapa
perguruan tinggi lainnya menyusul kemudian, antara lain adalah Universitas'
Sumatera Utara (USU), Universitas Pendidikan Indonesia (UPI), dan Universitas
Airlangga (Unair).
UU Sisdiknas No. 20 tahun 2003 mengamanatkan perlunya
pelaksanaan manajemen pendidikan berbasis sekolah atau madrasah pada jenjang
pendidikan dasar dan menengah, serta otonomi pada perguruan tinggi. Untuk
mewujudkan amanah tersebut pasal 53 UU Sisdiknas mewajibkan penyelenggara
dan/atau satuan pendidikan formal yang didirikan oleh pemerintah atau
rnasyarakat berbentuk Badan Hukum Pendidikan yang berfungsi memberikan
pelayanan kepada peserta didik yang bersifat nirlaba dan dapat mengelola dana
secara mandiri untuk memajukan satuan pendidikan. Otonomi dalam pengelolaan
pendidikan formal dapat diwujudkan jika penyelenggara atau satuan pendidikan
formal berbentuk Badan Hukum Pendidikan.
Sedangkan secara eksteren, UU BHP dirancang tidak terlepas
dari kepentingan asing negeri-negeri imperialis untuk melakukan proses
liberalisasi sektor pendidikan di Indonesia. Dalam kesepakatan untuk kucuran
utang (Letter of Intent/Lol) dari dana Moneter Internasional (IMF) tahun 1999,
terdapat kesepakatan bahwa pemerintah harus mencabut subsidi untuk pendidikan
dan kesehatan.
Melalui Bank Dunia (World Bank/WB), pemerintah Indonesia
telah mendapatkan kucuran dana utang 114,54 dollar AS untuk membiayai program
Indonesia Managing Higher Education For Relevance And Efficiency (IMHERE) yang
disepakati juni 2005 dan berakhir 2011. Program ini bertujuan untuk mewujudkan
otonomi perguruan tinggi, efisiensi dan relevansi perguruan tinggi dengan
kebutuhan pasar. Dari program inilah lahir sebuah rancangan UU BKP. Karena Bank
Dunia menganggap anggaran pendidikan terlalu banyak menyedot anggaran di APBN
sehingga habis dipangkas subsidinya. Pemangkasan tersebut meliputi juga
anggaran untuk guru dan dosen.
Selain itu, sejak tahun 2001 pemerintah Indonesia telah meratifikasi
Kesepakatan Bersama Tentang" Perdagangan Jasa (General Agreement On Trade
And Service/GATS) Organisasi Perdagangan Dunia (World Trade Organization/WTO)
di mana pendidikan dimasukkan menjadi salah satu dari 16 komoditas (barang
dagangan). Dengan demikian, para investor kemudian bisa menanamkan investasinya
di sektor pendidikan (terutama untuk pendidikan tinggi).
B. Ketentuan Pokok Dalam UU BHP
Pada ketentuan umum dikatakan bahwa Badan Hukum Pendidikan
adalah badan hukum yang menyelenggarakan pendidikan formal, yang bentuknya
adalah BHPP dan BHPPD. serta BHPM.
Badan Hukum Pendidikan bertujuan memajukan pendidikan
nasional dengan menerapkan manajemen berbasis sekolah/madrasah pada jenjang
pendidikan dasar dan menengah dan otonomi perguruan tinggi pada jenjang
pendidikan tinggi. Pengelolaan dana secara mandiri oleh badan hukum pendidikan
didasarkan pada prinsip nirlaba, yaitu prinsip kegiatan yang tujuan utamanya
tidak mencari laba. Pengelolaan pendidikan formal secara keseluruhan oleh badan
hukum pendidikan didasarkan pada prinsip
otonomi, akuntabilitas, transparansi, penjaminan mutu, layanan prima, akses
yang berkeadilan, keberagaman, keberlanjutan, dan partisipasi atas
tanggungjawab negara.
Mengenai kekayaan badan hukum pendidikan dijelaskan pada
pasal 37 bahwa (1) kekayaan awal BHPP, BHPPD, atau BHPM berasal dari kekayaan
pendiri yang dipisahkan, (2) kekayaan BHP penyelenggara sama dengan kekayaan
yayasan, perkumpulan, atau badan hukum lain sejenis sebelum diakui sebagai
badan hukum pendidikan (4) kekayaan dan pendapatan BHP penyelenggara dikelola
secara mandiri
Pendanaan pendidikan dijelaskan pada pasal 42 ayat (1)
bahwa badan hukum pendidikan yang menyelenggarakan pendidikan tinggi dapat
melakukan investasi dalam bentuk portofolio. Pada ayat (5) dikatakan bahwa
investasi sebagaimana yang dimaksudkan pada ayat (1) dikelola dan dibukukan
secara profesional oleh pimpinan organisasi pengelola pendidikan. Pasal 43
menyatakan bahwa badan hukum yang menyelenggarakan pendidikan tinggi dapat
melakukan investasi dengan mendirikan badan usaha berbadan hukum sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan untuk memenuhi pendanaan pendidikan.
Pasal 46 ayat (1) menyatakan bahwa badan hukum pendidikan
wajib menjaring dan menerima warga Negara Indonesia yang mnemiliki potensi
akademik tinggi dan kurang mampu secara ekonomi paling sedikit 20 % dari jumlah
keseluruhan peserta didik yang baru.
Mengenai akuntabilitas dan pengawasan. pasal 47 ayat (2)
menyatakan bahwa akuntabilitas public badan hukum pendidikan yang
menyelenggarakan pendidikan tinggi terdiri dari akuntabilitas akademik dan
akuntabilitas non akademik. Pasal 49 ayat (1) menyatakan bahwa pimpinan organ
pengelola pendidikan menyusun dan
menyampaikan laporan tahunan
badan hukum pendidikan secara
tertulis kepada organisasi representasi pemangku kepentingan.
Sedangkan mengenai status tenaga kependidikan, dijelaskan
pada pasal 55 (2) bahwa pendidikan
dan tenaga kependidikan dapat berstatus pegawai negeri sipil yang dipekerjakan
atau pegawai badan hukum pendidikan. Pada ayat (5) ditegaskan bahwa
pengangkatan dan pemberhentian jabatan serta hak dan kewajiban pendidik dan
tenaga kependidikan dengan status sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan
dalam perjanjian kerja berdasarkan anggaran dasar atau anggaran rumah tangga
serta peraturan perundang-undangan.
C. Esensi Kebijakan Baru
Kebijakan apapun yang dilakukan oleh pemerintah, apabila
berhubungan dengan pendidikan, maka akhirnya jelas akan mengacu pada upaya
"mencerdaskan kehidupan bangsa" sebagai amanah konstitusi.
Apabila dilihat secara lebih jauh bahwa badan hukum
pendidikan merupakan kebijakan pemerintah untuk meningkatkan mutu pendidikan
dalam bentuk pemberian otonomi yang lebih luas kepada institusi pendidikan.
Sinyalemen rendahnya mutu pendidikan selama ini akibat sistem sentralistik yang
pusat, diganti dengan sistem otonomi yang menekankan sistem pengelolaan
manajemen pendidikan pada institusi.
Melalui badan hukum pendidikan, setiap institusi diberdayakan
untuk mengelola dan membenahi dirinya sendiri berdasarkan kondisi lingkungan
dan kebutuhan pasar dalam memacu peningkatan kualitas pendidikan. Dengan adanya
kewenangan yang lebih luas, setiap institusi dapat melakukan manajemen
peningkatan mutu secara lebih realistis melalui analisis SWOT dengan
memanfaatkan kondisi riil yang dihadapi. Hal ini sangat memungkinkan suatu
lembaga pendidikan untuk menciptakan efektifitas dan efisiensi sumber daya
dalam mencapai tujuan pendidikan.
Pemberlakuan badan hukum pendidikan intinya melakukan
"swastanisasi" atau "privatisasi'" pendidikan, yang
bermakna sebagai tindakan menanggalkan perusahaan dan industri nasional oleh
pemerintah. Melalui privatisasi atau swastanisasi pendidikan, berimplikasi
manakala kemampuan pemerintah menyediakan dana pembangunan pendidikan makin
tidak memadai, peran masyarakat dalam memikul anggaran pendidikan dipastikan
akan terdongkrak ke atas. (Danim, 2003:33).
Sebagai sebuah institusi yang berbentuk badan hukum, maka
kewenangan untuk menyelenggarakan pendidikan lebih terbuka. Hal ini terutama
sekali dalam hal mencari dana untuk menunjang berbagai program pendidikan.
Sebagai sebuah badan hukum tentu saja memiliki kesempatan dalam memperoleh
biaya pendidikan, sebagaimana halnya sebuah perusahaan lainnya yang juga
berbentuk badan hukum.
Kebijakan privatisasi pendidikan juga dimaksudkan untuk
meningkatkan peran masyarakat dalam ikut membiayai pendidikan. Selama ini peran
masyarakat dalam ikut menunjang program pendidikan menjadi terabaikan, kondisi
ini disebabkan oleh sistem birokrasi yang terpusat sehingga semuanya dikelola
oleh pemerintah pusat. Melalui badan hukum pendidikan, masyarakat akan
dilibatkan secara lebih luas dalam ikut memikul tanggungjawab terhadap
pendidikan.
Keinginan untuk mendongkrak partisipasi masyarakat terhadap
pendidikan menjadi sangat penting. Hal ini seperti yang dikemukakan oleh
Winarno Surakhmad (dalam Danim, 2003:33) bahwa dulu pemerintah hanya meminta
partisipasi masyarakat terhadap pendidikan, tapi tidak pernah mengatakan pada
masyarakat bahwa ini pendidikanmu. Tidak heran kalau kemudian masyarakat juga
menjadi tidak peduli dengan bidang pendidikan. Untuk memperbaiki mutu
pendidikan nasional, tidak bisa tidak pendidikan harus dikembalikan kepada
masyarakat. Dengan demikian tidak ada lagi kebijakan di bidang pendidikan yang
hanya mencerminkan kemauan menteri atau pemerintah.
Memberikan otonomi yang luas kepada institusi akan merubah
paradigma manajemen dari "top down" menjadi "bottom up".
Karena otonomi pengelolaan pendidikan berada di tingkat institusi, maka peran
lembaga pemerintah adalah memberikan pelayanan dan dukungan kepada institusi
agar proses pendidikan berjalan secara efektif dan efisien. Peran pemerintah
bergeser dari "regulator" menjadi "fasilitator".
Keterlibatan pemerintah dalam penyelenggaraan pendidikan hanya mencakup dua
aspek, yaitu mutu dan pemerataan. Pemerintah menetapkan
standar mutu pendidikan, dan akan berupaya agar semua warga belajar dapat
berprestasi setinggi mungkin (Sidi,
2003:34).
Perubahan peran pemerintah ini mengubah hirarki pengambilan
keputusan yang selama ini selalu berawal dari pemerintah pusat dan bermuara di
institusi. Dalam skema otonomi pengelolaan pendidikan masa yang akan datang,
hirarki pengambilan keputusan menjadi piramida terbalik; kedudukan
lembaga/institusi berada di tingkat atas, sedangkan lembaga pemerintah berada
di bawah.
Melalui manajemen yang otonom dalam menentukan arah dan
program pengembangan pendidikan di suatu institusi, sebuah institusi menjadi
lebih mandiri dalam melihat berbagai prospek pendidikan yang sesuai dengan
kebutuhan. Dengan langkah inilah sebuah institusi akan terus berbenah dan pada
akhirnya akan terus berpacu meningkatkan mutu. Hal ini didasarkan pada suatu
asumsi bahwa masyarakat (stakeholder) hanya akan memilih institusi pendidikan
yang bermutu. Lembaga yang bermutu akan tetap eksis di tengah-tengah masyarakat
yang semakin mengglobal. dan lembaga yang tidak bermutu secara perlahan akan
ditinggalkan oleh masyarakat yang pada akhirnya akan ditutup. Dalam situasi
yang seperti ini setiap lembaga/institusi akan larut dalam persaingan mutu yang
sangat ketat.
Dengan terciptanya persaingan mutu pendidikan yang semakin
ketat. diharapkan manajemen pengelola pendidikan nasional akan semakin baik dan
pada akhirnya akan terwujud cita-cita bangsa Indonesia untuk "mencerdaskan
kehidupan bangsa".
D. Faktor Pendukung/Pembenaran Kebijakan
Setiap kebijakan selalu memiliki sisi positif dan sekaligus
juga sisi negatif. Dilihat dari sisi positifnya, menurut Tilaar (2009:7) bahwa kebijakan
pendidikan merupakan rumusan dari berbagai cara untuk mewujudkan tujuan
pendidikan nasional. Dalam konteks Indonesia, pencapaian kedua pesan konstitusi
untuk pendidikan nasional. yakni pendidikan yang mencerdaskan kehidupan bangsa
dan pendidikan adalah hak seluruh rakyat, dijabarkan dalam berbagai kebijakan
pendidikan.
Undang-Undang BHP menempatkan satuan pendidikan bukan
sebagai Unit Pelaksana Teknis (UPT) dari Departemen Pendidikan Nasional, tapi
sebagai suatu unit yang otonom. Rantai birokrasi diputus habis diserahkan ke
dalam organisasi badan hukum pendidikan yang menjalankan fungsi badan hukum
sebagai penentu kebijakan umum dan pengelolaan pendidikan. Misalnya di dalam
satuan pendidikan perguruan tinggi, praktek selama ini bahwa untuk memilih
seorang rektor harus melewati tujuh lapis birokrasi (tingkat senat, Dirjen
Dikti, Inspektorat Jenderal, Sekjen Depdiknas, Menteri Pendidikan Nasional, Tim
penilai akhir Sekretariat Negara dan akhirnya sampai ke Presiden). Saat ini,
dengan BHP hal itu tidak lagi terjadi, rektor dipilih dan ditetapkan oleh organisasi
representasi pemangku kepentingan. (Irwandi, http://www.dikti.go.id/index.php7option)
Sebenarnya, privatisasi lembaga pendidikan untuk mandiri
dengan berstatus BHP dapat disikapi dengan bijak. Karena hakikat BHP itu
sendiri adalah untuk mewujudkan privatisasi institusi sebagai kampus yang
profesional dan mandiri secara finansial. Ini dapat memacu lembaga untuk
berbenah, mengejar ketertinggalan dari Perguruan Tinggi Negeri yang lainnya.
Dari sebuah diskusi ringan dengan pihak yang berwenang menangani BHP, dapat
disimpulkan bahwa BHP adalah sebuah" keharusan bagi semua perguruan
Tinggi. Karena dengan status BHP ini, Perguruan Tinggi akan lebih maju, lebih
bersaing dengan perguruan Tinggi lainnya, sehingga aset-aset yang ada di
Perguruan Tinggi tersebut akan lebih produktif dan berdaya guna (Sukarsono, http://www.km.itb.ac.id/web/index).
Ada beberapa pemahaman positif penerapan Badan Hukum
Pendidikan (BHP) antara lain: meningkatkan mutu pendidikan, otonomi terbatas
peraturan dan kontrol, menguntungkan mahasiswa dari segi pendanaan dan layanan
akademik, mendorong sumber daya manusia berkompetensi, tata kelola iebih
tertata, akutabilitas publik lebih baik daripada akuntabilitas atasan, dan adanya
tanggungjawab pemerintah.
Sebelum BHP perguruan tinggi menjadi satuan
pendidikan tidak otonom, pemanfaatan resources SDM tidak efesien, perencanaan
top down, sistem administrasi lemah kontrol, jaminan kualitas rendah,
akuntabilitas dan transfaransi rendah, budaya mutu rendah, dan jaminan hukum
belum ada kepastian. Sedangkan setelah BHP, perguruan tinggi/satuan pendidikan
lebih otonom, perubahan organisasi dan program dinamis, manajemen dan
transfransi terjamin, arah pengembangan sesuai peluang dan tantangan, integrasi
optimal, administrasi dan program (keunggulan komperatif dan kompetitif),
utilisasi dan optimalisasi resources, performance-based management, penjaminan
mutu berjalan, peningkatan kinerja kelembagaan dan SDM (Soetopo, http://.fip.um.ac.id).
Untuk mengimplementasikan suatu pendidikan yang
baik tidaklah mudah dan memerlukan dana yang besar, seperti bahan ajar yang
mutakhir dan dinamis, kontekstual, peralatan., peraga ajar, pengembangan dan
pemantapan sistem, serta fasilitas pengajaran dan sebagainya sehingga dengan
anggaran yang besar akan menghasilkan proses pendidikan yang bermutu, proses
penelitian yang bermutu, dan proses pengabdian kepada masyarakat.Ada lima aspek
otonomi utama yang memerlukan perubahan pengaturan, yakni: tata kelola,
kurikulum, ketenagaan, keuangan, dan akuntabilitas. Otonomi dan akuntabilitas
Perguruan Tinggi meliputi: (1) Perguruan Tinggi sebagai badan nirlaba yang
mandiri, (2) bentuk BHP mengakibatkan adanya otonomi dan akuntabilitas, (3)
otonomi sesuai dengan UU Sisdiknas diatur dalam PP berarti Perguruan Tinggi
memiliki otonomi (untuk mengelola sendiri lembaganya, (4) otonomi Perguruan
Tinggi adalah kemandirian untuk mengelola sendiri lembaganya, dan tidak benar
BHP meniadakan pendanaan oleh Negara (Soetopc, http://info.fip.um.ac.id)
Sehubungan dengan mahalnya biaya pendidikan
yang diprediksikan mahal apabila menjadi BHP, maka untuk memperoleh suatu pendidikan
yang bermutu memang harus memerlukan biaya mahal. Hal ini seperti yang
dikemukakan Satryo (Danim, 2003:43) bahwa sekarang ini seolah-olah pendidikan
dientengkan, dikatakan mudah dan murah. Itu pandangan yang harus dikikis.
Sebab, di manapun human investment itu mahal.
Sehubungan dengan mahalnya biaya pendidikan dengan
menjadikan pendidikan sebagai badan hukum, maka Danim (2003:33) mengemukakan
bahwa hal ini merupakan konsekwensi logis, karena penyelenggaraan pendidikan
memerlukan biaya dalam jumlah besar. Ketika tuntutan akan mutu pendidikan makin
meningkat pada satu sisi dan daya bayar pemerintah makin melemah di sisi lain,
pembiayaan pendidikan harus menjadi kepedulian dan diagendakan sebagai
tanggungjawab baru oleh masyarakat, dengan tetap merangsang dukungan pemerintah
pada skala tinggi.
E. Faktor Penghambat/bantahan Kebijakan
Di samping faktor pendukung yang membenarkan kebijakan
badan hukum pendidikan seperti yang telah dikemukakan di atas, juga terdapat
berbagai faktor penghambat.
BHP adalah sebuah produk undang-undang yang digerakkan oleh
mitos otonomi. BHP tidak lebih dari sebuah bentuk lepas tangan negara atas
pembiayaan pendidikan nasional. Lembaga Pendidikan akan mengarah pada tujuan
pragmatis komersil ketimbang pada tujuan kritis dan blok histories yang mencerdaskan
bangsa dan melahirkan putra-putra terbaik yang bisa membaca tanda-tanda zaman.
Pada akhirnya BHP melegasisasi suatu kesempatan kepada satuan pendidikan untuk
memberi peluang bagi calon mahasiswa berkapasitas intelegensia rendah untuk
mengambil kursi mahasiswa lain yang berkualitas tinggi jika mampu memberi
imbalan tertentu (Irwandi, http://www.dikti.go.id)
Pemberlakuan badan hukum pendidikan berarfi adanya komersfalisasi
dan privaiisasi pendidikan. Penyelenggaraan pendidikan kemudian
hanya dinilai sebagai aktifitas perdagangan dan miniatur sebuah perusahaan
lengkap dengan hubungan industrialnya. Karena sekali lagi, dengan dinamakannya
Badan Hukum maka orientasinya adalah bagaimana mendapatkan keuntungan dari
aktifitas yang dilakukan. Dengan demikian yang dinamakan sebagai badan hukum
pendidikan adalah sebuah badan hukum yang mencari keuntungan lewat aktifitasnya
dengan alasan pendidikan. Dalam UU BHP ini, institusi pendidikan tinggi
kemudian diperbolehkan untuk melakukan praktek komcrsil dengan mendirikan
sebuah badan usaha mandiri ataupun membuat perjanjian investasi dalam bentuk
fortofolio untuk menutup kekurangan dari biaya pendidikan yang tidak ada
jaminannya akan diperoleh dari mana (selain
dari pemerintah dan peserta didik).
Apabila dilihat berdasarkan substansinya, BHP ini adalah
salah satu bentuk penjajahan gaya baru melalui bidang pendidikan. Karena UU BHP
dibentuk dan dikeluarkan bukan didasarkan pada kepribadiaan bangsa yaitu
Pancasila dan UUD '45, melainkan dikeluarkan berdasarkan konsensus Washington
yang kapitalis, liberalis dan neokolonialis. Inilah masalah yang sangat
mendasar. Karena pendidikan itu menjangkau masa depan bangsa dan negara kita.
Kalau pendidikannya sudah terjajah, maka yang terbentuk di masa yang datang
adalah bangsa kita bukan lagi menjadi bangsa merdeka pikiran dan tindakan,
tetapi menjadi bangsa pengemis, bangsa yang hanya melakukan sesuatu untuk
kepentingan asing yaitu bangsa yang betul-betul jongos. Sesuai dengan
hakekatnya, pendidikan itu hendaknya memerdekaan jiwa, pikiran dan tindakan
anak didik.
Badan hukum pendidikan lewat jalurnya itu adalah
komersialisasi pendidikan. Jadi pendidikan akan menjadi mahal. Sehingga
anak-anak rakyat yang tidak mampu tidak bisa sekolah lagi. Badan hukum
pendidikan akan membawa liberalisasi pendidikan, sehingga pendidikan itu
dijadikan komoditi bisnis, terserah kepada pasar. Itulah hakekat liberalisasi
pendidikan. Selain itu badan hukum pendidikan membawa kapitalisasi kepada
pendidikan. Pendidikan itu hanya diselenggarakan oleh orang-orang bermodal.
Dengan demikian pendidikan akan manut kepada orang-orang bermodal, bukan mengembangkan
jiwa dan kepribadian serta kebudayaan nasional (Sudarto, http://www.yogyakartaonlinc.com).
Perubahan status dari perguruan tinggi negeri menjadi badan
hukum milik negara dapat dimaknai sebagai swastanisasi pendidikan, yakni
menjadikan lembaga pendidikan negeri yang semula menjadi tanggung jawab negara.
kemudian dijadikan seperti swasta yang mesti dapat mengeloia dirinya sendiri.
Mahalnya biaya pendidikan akibat status badan hukum, akan
menimbulkan diskriminasi. Harga pendidikan dalam konteks tersebut menjadi tak
terjangkau. Bagi sekelompok anak orang kaya dan pejabat, mencari dan memperoleh
pendidikan sangat mudah, sebab mereka mempunyai uang. Sebaliknya, bagi
anak-anak orang rniskin, hal tersebut sangat susah didapat. Sebab, penghasilan
orang tua mereka sangat pas-pasan, mulai yang berkerja sebagai tukang becak,
penjahit, hingga sejumlah profesi lain yang berpenghasilan sangat rendah atau
di bawah pendapatan rata-rata. Dengan demikian anak-anak orang miskin terancam
tidak bisa belajar di bangku pendidikan tinggi. Masa depan pendidikan mereka
menjadi suram. Akhirnya, hanya anak-anak orang kaya yang berhak mendapatkan
pendidikan, harus bermasa depan cerah dan cemerlang. Mereka menemukan nasib
baik. Mereka menjadi anak-anak cerdas. Sedangkan anak-anak orang miskin tidak
memiliki hak sama untuk diperlakukan adil dalam mendapatkan pendidikan. Mereka
harus menjadi orang bodoh, anak yang harus rela hidup dalam kehancuran masa
depan. Anak-anak orang miskin harus menjadi gelandangan, terpinggirkan, dan terbelakang (Zainuri, http://zainurie.wordpress.com).
Diskriminasi yang dilegalkan melalui badan hokum
pendidikan, juga terlihat dari alokasi kuota yang diberikan terhadap peserta
didik dan keluarga miskin. Pada pasal 46 ayat (1) dikatakan bahwa badan hukum
wajib menjaring dan menerima Warga Negara Indonesia yang mempunyai potensi
akademik tinggi dan kurang mampu secara ekonomi paling sedikit 20 % dari jumlah
keseluruhan peserta didik yang baru. Ketentuan ini sangat diskriminatif, karena
yang diprioritaskan hanyalah anak-anak miskin yang mempunyai potensi akademik
tinggi, sementara bagi mereka yang tidak mempunyai prestasi akademik tidak
al;cn pernah dapat memperoleh pendidikan. Kenyataannya di Indonesia sangat
sedikit anak-anak miskin yang berprestasi, tapi yang kcbanyakan adalah mereka
yang prestasinya biasa-biasa saja. karena sudah menjadi badan usaha, walaupun
milik negara. Secara kultural yang terjadi adalah makin lunturnya kultur
intelektual, berganti kultur korporasi di dalam kampus. Kapital menjadi unsur
penting bagi kelangsungan pergurnan tinggi, termasuk menjadi penentu apakah
seseorang dapat diterima atau tidak berkuliah di PTBHMN tersebut. Hal itu
karena untuk kelangsungan hidup PTBHMN dengan berbagai tuntutan seperti
peningkatan kualitas perkuliahan, menjadi world class university, dan lainnya
membutuhkan dana sangat banyak. Oleh karena itu, PTBHMN tidak sekadar
berkonsentrasi pada pengembangan ilmu tetapi bertahan dan sukur-sukur dapat
berkembang maju, di sinilah kapital menjadi unsur yang begitu penting. Dengan
demikian sebenarnya PTBHMN tidak sekadar merupakan swastanisasi pendidikan
tinggi negeri, melainkan juga korporatisasi pendidikan tinggi, yakni menjadikan
perguruan tinggi layaknya sebuah korporasi (perusahaan) (Subkhan, http://pendidikankritis.wordpress.com)
Dalam pembukaan UUD 1945 dengan tegas menyebutkan bahwa
menjadi tanggung jawab negara untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Dan
ditegaskan kembali dalam pasal 31, bahwa setiap warga negara berhak untuk
mendapatkan pendidikan dan pemerintah wajib untuk membiayainya. Narnun apabila
dianalisis secara lebih dalam, UU BHP berkontradiktif dengan produk hukum
tertinggi Indonesia yaitu konstitusi. Semangat yang lahir dari pengesahan UU
BHP adalah untuk mendapatkan keuntungan bagi para investor dan serta para akedemisi yang mengabdikan ilmunya
kepada kepentingan imperialis. Di lain sisi merupakan sebuah bentuk lepasnya
tanggung jawab konsMtusional negara untuk memenuhi clan menanggung pendidikan
warga negaranya. UU BHP kemudian hanya akan melahirkan diskriminasi terhadap
warga negaranya. Terutama dilihat dari sisi kemampuan akademisnya dan kemampuan
keuangannya. Semakin miskin seorang individu maka aksesnya atas pendidikan akan
semakin sempit dan terbatas.Padahal, sekali lagi dalam konstitusi kita ketika
menyebutkan warga negara Indonesia adalah setiap individu berwarganegara
Indonesia tanpa pandang bulu.
F. Esensi Dari Kebijakan Baru
Berdasar analisis terhadap berbagai faktor pendukung yang
membenarkan badan hukum pendidikan dengan faktor penghambat yang membantah
kebijakan tersebut, maka dapat rumuskan beberapa esensi yang menjadi suatu
kebijakan baru dalam membenahi pendidikan nasional.
Berbagai kontroversi di atas seharusnya bermuara pada satu
pertanyaan, dapatkah badan hukum pendidikan ini diimplementasikan untuk
menjamin kualitas pendidikan kita yang semakin baik.? Penulis sendiri berposisi
mendukung penguatan profesionalisme otonomi penyelenggaraan pendidikan, tanpa
harus melepaskan tanggung jawab negara terhadap pendanaan pendidikan. Tentu
saja dengan berbagai catatan, bahwa implementasi badan hukum pendidikan tidak
boleh menyebabkan komersialisasi pendidikan yang dapat membatasi hak-hak masyarakat
"termasuk golongan tidak mampu" untuk menikmati pendidikan. Oleh
sebab itu diperlukan revisi terhadap beberapa ketentuan dalam UU BHP yang tidak
sesuai dengan jiwa dan semangat Pancasila dan UUD 1945.
Apabila dikaji secara mendalam, bahwa ctonomi pendidikan
itu merupakan suatu keharusan untuk meningkatkan mutu pendidikan, hanya saja
harus direvisi berbagai pasal-pasal yang tidak sejalan dengan jiwa dan semangat
konstitusi. Otonomi tetap diberikan kepada Jembaga pendidikan dengan tetap
mengedepankan tanggung jawab negara, hal ini mengindikasikan bahwa otonomi yang
dibutuhkan tidak dalam bentuk badan hukum yang mempunyai visi mencari
keuntungan.
Mengacu pada kebijakan otonomi daerah, maka otonomi
terhadap pendidikan juga dapat dilakukan tanpa harus rnenjadikan lembaga
pendidikan sebagai badan hukum yang berorientasi pada upaya untuk meraperoleh
keuntungan dari segi finansial. Pemerintah dapat saja memberikan kewenangan
kepada lembaga pendidikan seluas-luasnya dengan tetap meietakkan tanggungjawab
pada negara. yang diperlukan adalah pemberdayaan instirusi rnelalui berbagai
kebijakan yang tepat sasaran. Otonomi pendidikan tidak dimaksudkan memberikan
kekuasaan sebesar-besarnya kepada istitusi lalu mengesampingkan tanggungjawab
negara, tetapi bagaimana upaya pemerintah untuk meningkatkan partisipasi
masyarakat (stakeholder) agar mereka juga merasa bertanggungjawab dalam
peningkatan mutu pendidikan. Dengan demikian pemberian otonomi yang luas tidak
harus dengan mengalihkan status lembaga pendidikan menjadi badan hiikum
(privatisasi/swastanisasi).
Untuk memperbaiki pendidikan nasional harus dilandasi oleh
visi normative yang mampu mengarahkan peserta didik kepada penerimaan akan
pluralisme dan perbedaan, serta peningkatan kemampuan untuk mengelola konflik.
Ini berarti, pertama, ada tempat dan kesempatan bagi peserta didik untuk
melakukan diskusi, debat serta dialog mengenai bidang-bidang kehidupan. Kedita,
ini juga berarti menerapkan apresiasi budaya dan pluralitas yang disesuaikan
dengan prinsip-prinsip desentralisasi dan otonomi pendidikan. Ketiga, kita
perlu menyiapkan tenaga pendidik yang mampu menterjemahkan muatan moral dan
etika sosial , menjadi teladan dalam empati dan toleransi. Keempat, metode
pengajaran yang dogmatis dan otoriter harus dihindari dan lebih mengutamakan
sikap kritis, kemampuan analitis, dan kepekaan sosial. Kelima, kita perlu
mendorong program-program pertukaran budaya dan pengenalan serta pemahaman
mereka yang berbeda dengan dirinya (Shindunata, 2000:252).
Dilihat dari perspektif untuk melakukan reformasi
pendidikan di Indonesia, persolana yang mengganjal masih sangat krusial.
Pertama, anggaran pendidikan yang masih rendali, dan kedua, inefisiensi
pengeloiaan dan penyimpangan penggunaan dana pendidikan masih cukup tinggi.
Oleh sebab itu aspek penting bagi reformasi pendidikan adalah reformasi bidang
manajemen. Dengan melihat pengalaman Thailand dan Singapura dalam melakukan
reformasi pendidikan, maka agenda reformasi pendidikan dimaksudkan adalah
pertama, perencanaan pendidikan dan pembelajaran yang sistematis, komprehensif,
dan match dengan kebutuhan pembangunan dan kemajuan iptek. Kedua., pelaksanaan
rencana yang efektif dan efisien, dengan criteria keberhasilan yang ketat, baik
dilihat dari proses maupun produk pendidikan itu sendiri, Ketiga, pengawasan
untuk tidak hanya memperoleh umpan balik, melainkan sebagai instrument penerapan
reward bagi yang berprcstasi dan phunisment bagi yang melakukan deviasi (Danim, 2000:152).
Untuk menjadikan bangsa Indonesia sebagai bangsa yang luhur
dan bermartabat, maka pendidikan harus berakar pada konsep filosofi dan budaya
bangsa. Atas dasar konsep budaya inilah dikembangkan kebijakan untuk beranjak
menuju tata pergaulan dunia yang semakin maju, sehingga kemajuan dan kecerdasan
yang diraih tidak menyebabkan bangsa ini terlepas dari unsur-unsur budaya yang
melekat dalam kehidupannya setiap hari.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Berdasarkan
uraian tersbut di
atas, maka dapat
diambil beberapa kesimpulan,
antara lain :
1.
Badan Hukum Pendidikan lahir sebagai amanah konstitusi dan
UU Sisdiknas No. 20 tahun 2003. Hal ini sebagai konsekwensi dari timbulnya
gagasan untuk melakukan reformasi bidang pendidikan yang dinilai seiama ini
sangat memalukan; berada pada peringkat 109 dunia.
2.
BHP dilatar belakangi oleh dua kepentingan situasi yang
serba sulit, di satu pihak adanya keharusan untuk merubah wajah pendidikan
nasional dan di satu pihak adanya kepentingan asing terhadap pendidikan di
Indonesia.
3.
BHP adalali kebijakan yang memberikan otonomi
seluas-seluasnya kepada institusi pendidikan dengan mengalibkan status
institusi menjadi badan hukum. Konsekwensinya adalah lembaga pendidikan
berstatus svvasta dengan orientasi mencari keuntungan.
4.
Dari sisi positif, BHP berusaha memberdayakan institusi,
memangkas birokrasi, meningkatkan akuntabilitas, transparansi, dan penjaminan
mutu, "meningkatkan daya saing, serta efektifitas dan efisiensi.
Sedangkari dari sisi negatifnya, BHP menyebabkan biaya pendidikan mahal,
terjadinya diskriminasi antara peserta didik, arah pendidikan berorientasi
pasar untuk mencari untung, semakin jauh dari upaya pencapaian tujuan nasional.
5.
Untuk meningkatkan mutu pendidikan diperlukan reformasi
pendidikan yang menyeluruh dengan memberikan otonomi kepada institusi
seluas-luasnya, tetapi hal ini tidak perlu dilakukan dengan mengalihkan status
lembaga pendidikan menjadi badan hukum, mengingat tujuan yang ingin dicapai
adalah untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Pendidikan harus tetap berlandaskan
pada budaya bangsa, dengan peran serta masyarakat yang cukup tinggi.
B.
Saran-saran
Pada bagian akhir makalah ini, penulis akan memberikan
beberapa saran, antara lain:
1.
Untuk melakukan suatu kebijakan dalam bidang pendidikan
diharapkan para pengambil kebijakan harus selalu berorientasi pada nilai-nilai
budaya bangsa, hakekat pendidikan dan konsep filosofi pendidikan nasional.
Untuk menciptakan hal yang demikian, suatu kebijakan harus mendapat kajian kritis
dari para pakar pendidikan, budayawan, psikolog, dan praktisi pendidikan.
2.
Pemberlakuan BHP secara lebih luas diharapkan agar
dilakukan secara berhati-hati melalui sistim uji coba pada beberapa institusi
pendidikan yang telah dijadikan pilot projek. Dari hasil yang diperoleh, lalu
dilakukan perbaikan pada hal-hal yang kontroversi dan tidak menuju pada
pencapaian tujuan nasional.
DAFTAR PUSTAKA
Danim, Sudarwan,
(2003), Agenda Pembaharuan Sistem Pendidikan. Yogyakarta, Pustaka Pel
ajar.
Irwandi, (2008), Pengesahan Undang-undang BHP. http://www.dikti.go.id/index.php.
Murniati,
A.R., (2008), Manajemen Stratejik
Peran Kepala Sekolah Dalam Pemberdayaan. Bandvmg, Citapusaka Media
Perintis
Prasetio, (2008), Kontrofersi
Undang-undang BHP. http://enewsletterdisdik.wordpress.com.
Shindunata, (2000),
Menggagas Paradigma Barn Pendidikan: Demokratisasi, Olonomi, Civil Society,
Globalisasi. Yogyakarta, Kanisius.
Sidi, Indra Djati,
(2003), Menuju Masyarakat Belajar Menggagas Paradigma Baru Pendidikan. Jakarta,
Paramadina.
Soetopo, Hendyat,
(2009), Meningkatkan Mulu Pendidikan di Perguruan Tinggi, http://
info. fip.um.ac.id.
Sukarsono, Shana
Fatina, (2009), BHP
dan Hakikat Pendidikan. http://www.km.itb.ac.id.
Tilaar, H.A.R.,
(2008), Manajemen Pendidikan Nasional Kajian Pendidikan Masa Depan. Bandung,
Remaj a Rosdakarya.
Tilaar, H.A.R., (2002), Membenahi Pendidikan Nasional.
Jakarta, Rineka Cipta.
Tilaar, H.A.R.,
(2009), Kekuasaan dan Pendidikan: Manajemen Pendidikan Nasional
dalam Pusaran Kekuasaan. Jakarta: Rineka Cipta.
Tyasno, (2009), Taman
Siswa Tolak Undang-undang BHP. http://vvww. yogyakartaonline.
com/index.php.
Zainure, (2008), Rancangan
UU BHP dan Implikasinya. http://zainurie.wordpress.com
0 comments:
Post a Comment