14 December 2015

 02:23         No comments
Makalah


IMPLEMENTASI KEBIJAKAN BADAN HUKUM PENDIDIKAN



KATA PENGANTAR


Fuji dan syukur penulis ucapkan kepada Allah SWT. yang telah memberikan waktu dan kesempatan kepada penulis, sehingga dengan izin-Nya penulis dapat menyelesaikan makalah yang amat sederhana ini. Demikian juga salawat dan salam tidak lupa penulis sampaikan kepada Rasulullah Muhammad SAW. sebagai tokoh panutan yang telah melakukan revolusi dalam kehidupan umat manusia, baik dalam bidang agama dan kepercayaan maupun di bidang ilmu pengetahuan dan peradaban, serta yang lainnya.
Makalah ini merupakan salah satu tugas yang menjadi prasyarat dalam mengikuti mata kuliah "Analisis Kebijakan Pendidikan". Dalam hal ini penulis mengucapkan terima kasih kepada Ibu Dr. Murniati, A.R. M.Pd. selaku dosen pembimbing yang telah memberikan tugas ini kepada penulis, sehingga penulis berusaha untuk menyelesaikan tugas ini sesuai dengan kemampuan yang ada pada penulis.
Dalam menyelesaikan tugas ini penulis mengalami berbagai kesulitan, antara lain sulitnya memperoleh bahan bacaan yang berhubungan dengan BHP karena merupakan kebijakan yang baru dilaksanakan, namun dengan berbagai upaya penulis berusaha untuk memberanikan diri dengan memanfaatkan sumber-sumber yang ada. Penulis menyadari bahwa analisis yang dilakukan mempunyai berbagai kelemahan, terutama sekali dalam melakukan pemahaman terhadap bahasa undang-undang. Oleh sebab itu kritikan dan saran sangat penulis harapkan sebagai kontribusi dalam penyempurnaan makalah ini.

Wassalam
Penulis




DAFTAR ISI


KATA PENGANTAR  .................................................................................
DAFTAR ISI .................................................................................................
BAB I PENDAHULUAN .............................................................................
A. Latar Belakang ................................................................................
B. Fokus Masalah.................................................................................
BAB II KEBIJAKAN BADAN HUKUM PENDIDIKAN........................
A. Latar Belakang lahirnya UU BHP...................................................
B. Ketentuan Pokok Dalam UU BHP .................................................
C. Esensi Kebijakan Baru.....................................................................
D. Faktor Pendukung/Pembenaran Kebijakan .....................................
E. FaktorPenghambat/BantahanKebijakan ..........................................
F.  Esensi Dari Kebijakan Baru ............................................................
BABIII PENUTUP .......................................................................................
A. Kesimpulan .....................................................................................
B.  Saran  .............................................................................................
DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................


  
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Upaya peningkatan kualitas sumber daya manusia merupakan hal yang mutlak dilakukan dalam rangka mempercepat pencapaian tujuan pembangunan nasional. Melalui sumber daya manusia yang berkualitas akan melahirkan insan-insan pembangunan yang cerdas dan kompetitif dalam meneruskan berbagai tugas-tugas pembangunan bangsa.
Dalam era globalisasi sekarang ini, keberadaan kualitas sumber daya manusia yang dimiliki oleh suatu bangsa sangat menentukan maju atau mundurnya bangsa tersebut dalam bersaing dengan bangsa-bangsa lainnya di dunia. Pada akhirnya bangsa-bangsa yang memiliki sumber daya manusia yang handal akan mendominasi berbagai sisi kehidupan masyarakat dan bangsa yang kualitas sumber daya manusianya rendah. Oleh sebab itu berbagai upaya terus dilakukan oleh pemerintah dalam rangka mengembangkan kualitas sumber daya warga negaranya.
Salah satu program yang dapat menyiapkan dan merekayasa arah perkembangan masyarakat Indonesia masa depan ialah pendidikan. Di dalam UU Sisdiknas No. 20 tahun 2003 ditegaskan bahwa pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia. sehat., kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
Murniati (2008:21) mengemukakan bahwa pendidikan merupakan salah satu faktor penting dalam pencapaian kemajuan pembangunan. Melalui penciptaan sumber daya manusia yang ungul dan berkualitas, pendidikan diyakini akan memberikan kontribusi positif bagi kemajuan dan pembangunan, baik pembangunan jangka pendek, jangka menengah, maupun jangka panjang. Untuk itu pendidikan dan semua elemen atau komponen yang terlibat di dalamnya harus diberdayakan ke arah pencapaian tujuan penciptaan sumber daya manusia yang ungguJ dan berkualitas.
Satu hal yang tidak dapat dipungkiri, UUD 1945 mengamanahkan bahwa tujuan:
Pendidikan nasionaJ adalah "untuk mencerdaskan kehidupan bangsa". Namun hasil pendidikan yang kita peroleh sekarang bukannya menjadikan bangsa ini menjadi cerdas, tapi malah sebaliknya semakin terbelakang. Berdasarkan parameter yang ditetapkan UNDP pada tahun 2000, pendidikan Indonesia berada pada peringkat 109 dunia.
Kekeliruan yang dilakukan selama ini telah menghasilkan potret pendidikan Indonesia selama kita merdeka menjadi sangat memprihatinkan. Menurut Shindunata (2000:71) kondisi pendidikan mencerminkan (1) negara Indonesia yang berperan mencerdaskan kehidupan bangsa sebagai tulang punggung pembangunan, namun yang terjadi adalah tragedi, setelah setengah abad merdeka bangsa ini bukannya semakin cerdas namun tetap bodoh, (2) sistem pendidikan yang seyogyanya bisa membebaskan anak-anak menjadi manusia utuh bermartabat justru menjadi alat penyiksa. Ironis dan sungguh sangat memprihatinkan, (3) sistem pendidikan yang ada telah tergilas oleh kekuatan atau sistem yang lain sehingga secara pasti tidak memungkinkan arah perjalanannya dapat menuju ke tujuan pendidikan nasionai, apalagi mencapai tujuan pendidikan nasional itu sendiri.
Kehancuran pendidikan seperti tersebut di atas, salah satu faktor penyebabnya adalah sistem birokrasi yang sentralistik, semuanya bergantung pada pemerintah pusat, Kecendrungan manajemen yang sentralistik telah menimbulkan berbagai sisi negative, yaitu mematikan inisiatif karena terdapat unsur paksaan secara interen dari sang atasan. Selain itu budaya feodalisme yang melahirkan "father figure" lebih banyak menjadi faktor penghalang bagi tumbuhnya kepemimpinan yang kreatif dan terbuka. (Tilaar. 2008:32).
Melihat keadaan pendidikan nasional yang kebablasan, menyebabkan lahirnya tuntutan agar pendidikan melakukan reformasi. Seiring dengan bergulirnya agenda reformasi pada tahun 1998 yang melahirkan kebijakan Otonomi Daerah, maka dalarn bidang pendidikan juga mengalami perubahan paradigma dengan dikeluarkannya UU Sisdiknas No. 20 tahun 2003. UU ini merupakan payung hukum dalam melakukan reformasi pendidikan secara menyeluruh, dengan memberikan otonomi yang lebih luas dalam pengelolaan pendidikan kepada institusi dan stakeholdernya.
Sebagai konsekueasi dari UU Sisdiknas tersebut, kemudian pemerintah mengeluarkan UU No. 9 tahun 2009 tentang Badan Hukum Pendidikan.

B. Fokos Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut di atas, maka yang menjadi fokus kajian dalam makalah ini adalah :
1.        Faktor apa yang mendorong dikeluarkannya UU BHP ?
2.        Bagaimana bentuk penyelenggaraan pendidikan berdasarkan ketentuan UU BHP?
3.        Sejauhmana UU BHP dapat mencapai tujuan pendidikan nasional ?
4.        Apa saja sisi positif dan negative penyelenggaraan pendidikan dengan adanya otonomi pendidikan melalui UU BHP ?
5.        Otonomi yang bagaimana seharusnya dilaksanakan untuk mencapai tujuan pendidikan nasional ?



BAB II
 KEBIJAKAN BADAN HUKUM PENDIDIKAN

A.      Latar Belakang Lahirnya UU BHP

Secara intern, pemberlakuan Badan Hukum Pendidikan dihadapkan dalam keadaan yang serba sulit. Di satu dipihak adanya tuntutan terhadap reformasi sistem pendidikan nasional melalui otonomi yang lebih luas, dan di pihak lain diperlukan kesiapan pemerintah untuk mengalokasikan dana yang lebih besar untuk menciptakan sumber daya pendidikan yang bermutu.
Apabila ditelusuri, pertama secara historis dari inisiatif kebijakan ini, yakni pada tahun 1999 ketika sudah mulai inisiasi neoliberalisasi pendidikan melalui dikeluarkannya Peraturan Pemerintah No. 61/1999 tentang Penetapan Perguruan Tinggi Negeri sebagai Badan Hukum Milik Negara (PTNBKN). Nuansa nalar kapitalis masuk dalam kebijakan tersebut dalam menetapkan prasyarat perguruan tinggi, yaitu: (1) menyelenggarakan pendidikan tertinggi dan efisien dan berkualitas, (2) memenuhi standar minimum kelayakan finansial, (3) melaksanakan pengelolaan perguruan tinggi berdasarkan prinsip ekonomis dan akuntabilitas. Ketentuan ini disesuaikan dengan dikeluarkannya Peraturan Pemerintah No. 152, 153, 154, dan 155 tahun 2000 yang menetapkan Universitas Indonesia (UI), Universitas Gadjah Mada (UGM), Institut Pertanian Bogor (IPB), dan Inslitut Teknologi Bandung (ITB) menjadi BHMN. Beberapa perguruan tinggi lainnya menyusul kemudian, antara lain adalah Universitas' Sumatera Utara (USU), Universitas Pendidikan Indonesia (UPI), dan Universitas Airlangga (Unair).
UU Sisdiknas No. 20 tahun 2003 mengamanatkan perlunya pelaksanaan manajemen pendidikan berbasis sekolah atau madrasah pada jenjang pendidikan dasar dan menengah, serta otonomi pada perguruan tinggi. Untuk mewujudkan amanah tersebut pasal 53 UU Sisdiknas mewajibkan penyelenggara dan/atau satuan pendidikan formal yang didirikan oleh pemerintah atau rnasyarakat berbentuk Badan Hukum Pendidikan yang berfungsi memberikan pelayanan kepada peserta didik yang bersifat nirlaba dan dapat mengelola dana secara mandiri untuk memajukan satuan pendidikan. Otonomi dalam pengelolaan pendidikan formal dapat diwujudkan jika penyelenggara atau satuan pendidikan formal berbentuk Badan Hukum Pendidikan.
Sedangkan secara eksteren, UU BHP dirancang tidak terlepas dari kepentingan asing negeri-negeri imperialis untuk melakukan proses liberalisasi sektor pendidikan di Indonesia. Dalam kesepakatan untuk kucuran utang (Letter of Intent/Lol) dari dana Moneter Internasional (IMF) tahun 1999, terdapat kesepakatan bahwa pemerintah harus mencabut subsidi untuk pendidikan dan kesehatan.
Melalui Bank Dunia (World Bank/WB), pemerintah Indonesia telah mendapatkan kucuran dana utang 114,54 dollar AS untuk membiayai program Indonesia Managing Higher Education For Relevance And Efficiency (IMHERE) yang disepakati juni 2005 dan berakhir 2011. Program ini bertujuan untuk mewujudkan otonomi perguruan tinggi, efisiensi dan relevansi perguruan tinggi dengan kebutuhan pasar. Dari program inilah lahir sebuah rancangan UU BKP. Karena Bank Dunia menganggap anggaran pendidikan terlalu banyak menyedot anggaran di APBN sehingga habis dipangkas subsidinya. Pemangkasan tersebut meliputi juga anggaran untuk guru dan dosen.
Selain itu, sejak tahun 2001 pemerintah Indonesia telah meratifikasi Kesepakatan Bersama Tentang" Perdagangan Jasa (General Agreement On Trade And Service/GATS) Organisasi Perdagangan Dunia (World Trade Organization/WTO) di mana pendidikan dimasukkan menjadi salah satu dari 16 komoditas (barang dagangan). Dengan demikian, para investor kemudian bisa menanamkan investasinya di sektor pendidikan (terutama untuk pendidikan tinggi).



B.       Ketentuan Pokok Dalam UU BHP
Pada ketentuan umum dikatakan bahwa Badan Hukum Pendidikan adalah badan hukum yang menyelenggarakan pendidikan formal, yang bentuknya adalah BHPP dan BHPPD. serta BHPM.
Badan Hukum Pendidikan bertujuan memajukan pendidikan nasional dengan menerapkan manajemen berbasis sekolah/madrasah pada jenjang pendidikan dasar dan menengah dan otonomi perguruan tinggi pada jenjang pendidikan tinggi. Pengelolaan dana secara mandiri oleh badan hukum pendidikan didasarkan pada prinsip nirlaba, yaitu prinsip kegiatan yang tujuan utamanya tidak mencari laba. Pengelolaan pendidikan formal secara keseluruhan oleh badan hukum  pendidikan didasarkan pada prinsip otonomi, akuntabilitas, transparansi, penjaminan mutu, layanan prima, akses yang berkeadilan, keberagaman, keberlanjutan, dan partisipasi atas tanggungjawab negara.
Mengenai kekayaan badan hukum pendidikan dijelaskan pada pasal 37 bahwa (1) kekayaan awal BHPP, BHPPD, atau BHPM berasal dari kekayaan pendiri yang dipisahkan, (2) kekayaan BHP penyelenggara sama dengan kekayaan yayasan, perkumpulan, atau badan hukum lain sejenis sebelum diakui sebagai badan hukum pendidikan (4) kekayaan dan pendapatan BHP penyelenggara dikelola secara mandiri
Pendanaan pendidikan dijelaskan pada pasal 42 ayat (1) bahwa badan hukum pendidikan yang menyelenggarakan pendidikan tinggi dapat melakukan investasi dalam bentuk portofolio. Pada ayat (5) dikatakan bahwa investasi sebagaimana yang dimaksudkan pada ayat (1) dikelola dan dibukukan secara profesional oleh pimpinan organisasi pengelola pendidikan. Pasal 43 menyatakan bahwa badan hukum yang menyelenggarakan pendidikan tinggi dapat melakukan investasi dengan mendirikan badan usaha berbadan hukum sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan untuk memenuhi pendanaan pendidikan.
Pasal 46 ayat (1) menyatakan bahwa badan hukum pendidikan wajib menjaring dan menerima warga Negara Indonesia yang mnemiliki potensi akademik tinggi dan kurang mampu secara ekonomi paling sedikit 20 % dari jumlah keseluruhan peserta didik yang baru.
Mengenai akuntabilitas dan pengawasan. pasal 47 ayat (2) menyatakan bahwa akuntabilitas public badan hukum pendidikan yang menyelenggarakan pendidikan tinggi terdiri dari akuntabilitas akademik dan akuntabilitas non akademik. Pasal 49 ayat (1) menyatakan bahwa pimpinan organ pengelola pendidikan   menyusun   dan   menyampaikan   laporan   tahunan   badan   hukum pendidikan secara tertulis kepada organisasi representasi pemangku kepentingan.
Sedangkan mengenai status tenaga kependidikan, dijelaskan pada     pasal 55 (2) bahwa pendidikan dan tenaga kependidikan dapat berstatus pegawai negeri sipil yang dipekerjakan atau pegawai badan hukum pendidikan. Pada ayat (5) ditegaskan bahwa pengangkatan dan pemberhentian jabatan serta hak dan kewajiban pendidik dan tenaga kependidikan dengan status sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan dalam perjanjian kerja berdasarkan anggaran dasar atau anggaran rumah tangga serta peraturan perundang-undangan.

C.      Esensi Kebijakan Baru
Kebijakan apapun yang dilakukan oleh pemerintah, apabila berhubungan dengan pendidikan, maka  akhirnya jelas akan mengacu pada upaya "mencerdaskan kehidupan bangsa" sebagai amanah konstitusi.
Apabila dilihat secara lebih jauh bahwa badan hukum pendidikan merupakan kebijakan pemerintah untuk meningkatkan mutu pendidikan dalam bentuk pemberian otonomi yang lebih luas kepada institusi pendidikan. Sinyalemen rendahnya mutu pendidikan selama ini akibat sistem sentralistik yang pusat, diganti dengan sistem otonomi yang menekankan sistem pengelolaan manajemen pendidikan pada institusi.
Melalui badan hukum pendidikan, setiap institusi diberdayakan untuk mengelola dan membenahi dirinya sendiri berdasarkan kondisi lingkungan dan kebutuhan pasar dalam memacu peningkatan kualitas pendidikan. Dengan adanya kewenangan yang lebih luas, setiap institusi dapat melakukan manajemen peningkatan mutu secara lebih realistis melalui analisis SWOT dengan memanfaatkan kondisi riil yang dihadapi. Hal ini sangat memungkinkan suatu lembaga pendidikan untuk menciptakan efektifitas dan efisiensi sumber daya dalam mencapai tujuan pendidikan.
Pemberlakuan badan hukum pendidikan intinya melakukan "swastanisasi" atau "privatisasi'" pendidikan, yang bermakna sebagai tindakan menanggalkan perusahaan dan industri nasional oleh pemerintah. Melalui privatisasi atau swastanisasi pendidikan, berimplikasi manakala kemampuan pemerintah menyediakan dana pembangunan pendidikan makin tidak memadai, peran masyarakat dalam memikul anggaran pendidikan dipastikan akan terdongkrak ke atas. (Danim, 2003:33).
Sebagai sebuah institusi yang berbentuk badan hukum, maka kewenangan untuk menyelenggarakan pendidikan lebih terbuka. Hal ini terutama sekali dalam hal mencari dana untuk menunjang berbagai program pendidikan. Sebagai sebuah badan hukum tentu saja memiliki kesempatan dalam memperoleh biaya pendidikan, sebagaimana halnya sebuah perusahaan lainnya yang juga berbentuk badan hukum.
Kebijakan privatisasi pendidikan juga dimaksudkan untuk meningkatkan peran masyarakat dalam ikut membiayai pendidikan. Selama ini peran masyarakat dalam ikut menunjang program pendidikan menjadi terabaikan, kondisi ini disebabkan oleh sistem birokrasi yang terpusat sehingga semuanya dikelola oleh pemerintah pusat. Melalui badan hukum pendidikan, masyarakat akan dilibatkan secara lebih luas dalam ikut memikul tanggungjawab terhadap pendidikan.
Keinginan untuk mendongkrak partisipasi masyarakat terhadap pendidikan menjadi sangat penting. Hal ini seperti yang dikemukakan oleh Winarno Surakhmad (dalam Danim, 2003:33) bahwa dulu pemerintah hanya meminta partisipasi masyarakat terhadap pendidikan, tapi tidak pernah mengatakan pada masyarakat bahwa ini pendidikanmu. Tidak heran kalau kemudian masyarakat juga menjadi tidak peduli dengan bidang pendidikan. Untuk memperbaiki mutu pendidikan nasional, tidak bisa tidak pendidikan harus dikembalikan kepada masyarakat. Dengan demikian tidak ada lagi kebijakan di bidang pendidikan yang hanya mencerminkan kemauan menteri atau pemerintah.
Memberikan otonomi yang luas kepada institusi akan merubah paradigma manajemen dari "top down" menjadi "bottom up". Karena otonomi pengelolaan pendidikan berada di tingkat institusi, maka peran lembaga pemerintah adalah memberikan pelayanan dan dukungan kepada institusi agar proses pendidikan berjalan secara efektif dan efisien. Peran pemerintah bergeser dari "regulator" menjadi "fasilitator". Keterlibatan pemerintah dalam penyelenggaraan pendidikan hanya mencakup dua aspek, yaitu mutu dan pemerataan. Pemerintah menetapkan standar mutu pendidikan, dan akan berupaya agar semua warga belajar dapat berprestasi setinggi mungkin     (Sidi, 2003:34).
Perubahan peran pemerintah ini mengubah hirarki pengambilan keputusan yang selama ini selalu berawal dari pemerintah pusat dan bermuara di institusi. Dalam skema otonomi pengelolaan pendidikan masa yang akan datang, hirarki pengambilan keputusan menjadi piramida terbalik; kedudukan lembaga/institusi berada di tingkat atas, sedangkan lembaga pemerintah berada di bawah.
Melalui manajemen yang otonom dalam menentukan arah dan program pengembangan pendidikan di suatu institusi, sebuah institusi menjadi lebih mandiri dalam melihat berbagai prospek pendidikan yang sesuai dengan kebutuhan. Dengan langkah inilah sebuah institusi akan terus berbenah dan pada akhirnya akan terus berpacu meningkatkan mutu. Hal ini didasarkan pada suatu asumsi bahwa masyarakat (stakeholder) hanya akan memilih institusi pendidikan yang bermutu. Lembaga yang bermutu akan tetap eksis di tengah-tengah masyarakat yang semakin mengglobal. dan lembaga yang tidak bermutu secara perlahan akan ditinggalkan oleh masyarakat yang pada akhirnya akan ditutup. Dalam situasi yang seperti ini setiap lembaga/institusi akan larut dalam persaingan mutu yang sangat ketat.
Dengan terciptanya persaingan mutu pendidikan yang semakin ketat. diharapkan manajemen pengelola pendidikan nasional akan semakin baik dan pada akhirnya akan terwujud cita-cita bangsa Indonesia untuk "mencerdaskan kehidupan bangsa".

D.      Faktor Pendukung/Pembenaran Kebijakan
Setiap kebijakan selalu memiliki sisi positif dan sekaligus juga sisi negatif. Dilihat dari sisi positifnya,  menurut Tilaar (2009:7) bahwa kebijakan pendidikan merupakan rumusan dari berbagai cara untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional. Dalam konteks Indonesia, pencapaian kedua pesan konstitusi untuk pendidikan nasional. yakni pendidikan yang mencerdaskan kehidupan bangsa dan pendidikan adalah hak seluruh rakyat, dijabarkan dalam berbagai kebijakan pendidikan.
Undang-Undang BHP menempatkan satuan pendidikan bukan sebagai Unit Pelaksana Teknis (UPT) dari Departemen Pendidikan Nasional, tapi sebagai suatu unit yang otonom. Rantai birokrasi diputus habis diserahkan ke dalam organisasi badan hukum pendidikan yang menjalankan fungsi badan hukum sebagai penentu kebijakan umum dan pengelolaan pendidikan. Misalnya di dalam satuan pendidikan perguruan tinggi, praktek selama ini bahwa untuk memilih seorang rektor harus melewati tujuh lapis birokrasi (tingkat senat, Dirjen Dikti, Inspektorat Jenderal, Sekjen Depdiknas, Menteri Pendidikan Nasional, Tim penilai akhir Sekretariat Negara dan akhirnya sampai ke Presiden). Saat ini, dengan BHP hal itu tidak lagi terjadi, rektor dipilih dan ditetapkan oleh organisasi representasi pemangku kepentingan. (Irwandi, http://www.dikti.go.id/index.php7option)
Sebenarnya, privatisasi lembaga pendidikan untuk mandiri dengan berstatus BHP dapat disikapi dengan bijak. Karena hakikat BHP itu sendiri adalah untuk mewujudkan privatisasi institusi sebagai kampus yang profesional dan mandiri secara finansial. Ini dapat memacu lembaga untuk berbenah, mengejar ketertinggalan dari Perguruan Tinggi Negeri yang lainnya. Dari sebuah diskusi ringan dengan pihak yang berwenang menangani BHP, dapat disimpulkan bahwa BHP adalah sebuah" keharusan bagi semua perguruan Tinggi. Karena dengan status BHP ini, Perguruan Tinggi akan lebih maju, lebih bersaing dengan perguruan Tinggi lainnya, sehingga aset-aset yang ada di Perguruan Tinggi tersebut akan lebih produktif dan berdaya guna (Sukarsono, http://www.km.itb.ac.id/web/index).
Ada beberapa pemahaman positif penerapan Badan Hukum Pendidikan (BHP) antara lain: meningkatkan mutu pendidikan, otonomi terbatas peraturan dan kontrol, menguntungkan mahasiswa dari segi pendanaan dan layanan akademik, mendorong sumber daya manusia berkompetensi, tata kelola iebih tertata, akutabilitas publik lebih baik daripada akuntabilitas atasan, dan adanya tanggungjawab pemerintah.
Sebelum BHP perguruan tinggi menjadi satuan pendidikan tidak otonom, pemanfaatan resources SDM tidak efesien, perencanaan top down, sistem administrasi lemah kontrol, jaminan kualitas rendah, akuntabilitas dan transfaransi rendah, budaya mutu rendah, dan jaminan hukum belum ada kepastian. Sedangkan setelah BHP, perguruan tinggi/satuan pendidikan lebih otonom, perubahan organisasi dan program dinamis, manajemen dan transfransi terjamin, arah pengembangan sesuai peluang dan tantangan, integrasi optimal, administrasi dan program (keunggulan komperatif dan kompetitif), utilisasi dan optimalisasi resources, performance-based management, penjaminan mutu berjalan, peningkatan kinerja kelembagaan dan SDM (Soetopo, http://.fip.um.ac.id).
Untuk mengimplementasikan suatu pendidikan yang baik tidaklah mudah dan memerlukan dana yang besar, seperti bahan ajar yang mutakhir dan dinamis, kontekstual, peralatan., peraga ajar, pengembangan dan pemantapan sistem, serta fasilitas pengajaran dan sebagainya sehingga dengan anggaran yang besar akan menghasilkan proses pendidikan yang bermutu, proses penelitian yang bermutu, dan proses pengabdian kepada masyarakat.Ada lima aspek otonomi utama yang memerlukan perubahan pengaturan, yakni: tata kelola, kurikulum, ketenagaan, keuangan, dan akuntabilitas. Otonomi dan akuntabilitas Perguruan Tinggi meliputi: (1) Perguruan Tinggi sebagai badan nirlaba yang mandiri, (2) bentuk BHP mengakibatkan adanya otonomi dan akuntabilitas, (3) otonomi sesuai dengan UU Sisdiknas diatur dalam PP berarti Perguruan Tinggi memiliki otonomi (untuk mengelola sendiri lembaganya, (4) otonomi Perguruan Tinggi adalah kemandirian untuk mengelola sendiri lembaganya, dan tidak benar BHP meniadakan pendanaan oleh Negara (Soetopc, http://info.fip.um.ac.id)
Sehubungan dengan mahalnya biaya pendidikan yang diprediksikan mahal apabila menjadi BHP, maka untuk memperoleh suatu pendidikan yang bermutu memang harus memerlukan biaya mahal. Hal ini seperti yang dikemukakan Satryo (Danim, 2003:43) bahwa sekarang ini seolah-olah pendidikan dientengkan, dikatakan mudah dan murah. Itu pandangan yang harus dikikis. Sebab, di manapun human investment itu mahal.
Sehubungan dengan mahalnya biaya pendidikan dengan menjadikan pendidikan sebagai badan hukum, maka Danim (2003:33) mengemukakan bahwa hal ini merupakan konsekwensi logis, karena penyelenggaraan pendidikan memerlukan biaya dalam jumlah besar. Ketika tuntutan akan mutu pendidikan makin meningkat pada satu sisi dan daya bayar pemerintah makin melemah di sisi lain, pembiayaan pendidikan harus menjadi kepedulian dan diagendakan sebagai tanggungjawab baru oleh masyarakat, dengan tetap merangsang dukungan pemerintah pada skala tinggi.

E.       Faktor Penghambat/bantahan Kebijakan
Di samping faktor pendukung yang membenarkan kebijakan badan hukum pendidikan seperti yang telah dikemukakan di atas, juga terdapat berbagai faktor penghambat.
BHP adalah sebuah produk undang-undang yang digerakkan oleh mitos otonomi. BHP tidak lebih dari sebuah bentuk lepas tangan negara atas pembiayaan pendidikan nasional. Lembaga Pendidikan akan mengarah pada tujuan pragmatis komersil ketimbang pada tujuan kritis dan blok histories yang mencerdaskan bangsa dan melahirkan putra-putra terbaik yang bisa membaca tanda-tanda zaman. Pada akhirnya BHP melegasisasi suatu kesempatan kepada satuan pendidikan untuk memberi peluang bagi calon mahasiswa berkapasitas intelegensia rendah untuk mengambil kursi mahasiswa lain yang berkualitas tinggi jika mampu memberi imbalan tertentu (Irwandi, http://www.dikti.go.id)
Pemberlakuan badan hukum pendidikan berarfi adanya komersfalisasi dan privaiisasi pendidikan. Penyelenggaraan pendidikan kemudian hanya dinilai sebagai aktifitas perdagangan dan miniatur sebuah perusahaan lengkap dengan hubungan industrialnya. Karena sekali lagi, dengan dinamakannya Badan Hukum maka orientasinya adalah bagaimana mendapatkan keuntungan dari aktifitas yang dilakukan. Dengan demikian yang dinamakan sebagai badan hukum pendidikan adalah sebuah badan hukum yang mencari keuntungan lewat aktifitasnya dengan alasan pendidikan. Dalam UU BHP ini, institusi pendidikan tinggi kemudian diperbolehkan untuk melakukan praktek komcrsil dengan mendirikan sebuah badan usaha mandiri ataupun membuat perjanjian investasi dalam bentuk fortofolio untuk menutup kekurangan dari biaya pendidikan yang tidak ada jaminannya akan diperoleh dari mana   (selain dari pemerintah dan peserta didik).
Apabila dilihat berdasarkan substansinya, BHP ini adalah salah satu bentuk penjajahan gaya baru melalui bidang pendidikan. Karena UU BHP dibentuk dan dikeluarkan bukan didasarkan pada kepribadiaan bangsa yaitu Pancasila dan UUD '45, melainkan dikeluarkan berdasarkan konsensus Washington yang kapitalis, liberalis dan neokolonialis. Inilah masalah yang sangat mendasar. Karena pendidikan itu menjangkau masa depan bangsa dan negara kita. Kalau pendidikannya sudah terjajah, maka yang terbentuk di masa yang datang adalah bangsa kita bukan lagi menjadi bangsa merdeka pikiran dan tindakan, tetapi menjadi bangsa pengemis, bangsa yang hanya melakukan sesuatu untuk kepentingan asing yaitu bangsa yang betul-betul jongos. Sesuai dengan hakekatnya, pendidikan itu hendaknya memerdekaan jiwa, pikiran dan tindakan anak didik.
Badan hukum pendidikan lewat jalurnya itu adalah komersialisasi pendidikan. Jadi pendidikan akan menjadi mahal. Sehingga anak-anak rakyat yang tidak mampu tidak bisa sekolah lagi. Badan hukum pendidikan akan membawa liberalisasi pendidikan, sehingga pendidikan itu dijadikan komoditi bisnis, terserah kepada pasar. Itulah hakekat liberalisasi pendidikan. Selain itu badan hukum pendidikan membawa kapitalisasi kepada pendidikan. Pendidikan itu hanya diselenggarakan oleh orang-orang bermodal. Dengan demikian pendidikan akan manut kepada orang-orang bermodal, bukan mengembangkan jiwa dan kepribadian serta kebudayaan nasional (Sudarto, http://www.yogyakartaonlinc.com).
Perubahan status dari perguruan tinggi negeri menjadi badan hukum milik negara dapat dimaknai sebagai swastanisasi pendidikan, yakni menjadikan lembaga pendidikan negeri yang semula menjadi tanggung jawab negara. kemudian dijadikan seperti swasta yang mesti dapat mengeloia dirinya sendiri.
Mahalnya biaya pendidikan akibat status badan hukum, akan menimbulkan diskriminasi. Harga pendidikan dalam konteks tersebut menjadi tak terjangkau. Bagi sekelompok anak orang kaya dan pejabat, mencari dan memperoleh pendidikan sangat mudah, sebab mereka mempunyai uang. Sebaliknya, bagi anak-anak orang rniskin, hal tersebut sangat susah didapat. Sebab, penghasilan orang tua mereka sangat pas-pasan, mulai yang berkerja sebagai tukang becak, penjahit, hingga sejumlah profesi lain yang berpenghasilan sangat rendah atau di bawah pendapatan rata-rata. Dengan demikian anak-anak orang miskin terancam tidak bisa belajar di bangku pendidikan tinggi. Masa depan pendidikan mereka menjadi suram. Akhirnya, hanya anak-anak orang kaya yang berhak mendapatkan pendidikan, harus bermasa depan cerah dan cemerlang. Mereka menemukan nasib baik. Mereka menjadi anak-anak cerdas. Sedangkan anak-anak orang miskin tidak memiliki hak sama untuk diperlakukan adil dalam mendapatkan pendidikan. Mereka harus menjadi orang bodoh, anak yang harus rela hidup dalam kehancuran masa depan. Anak-anak orang miskin harus menjadi gelandangan,  terpinggirkan, dan terbelakang (Zainuri, http://zainurie.wordpress.com).
Diskriminasi yang dilegalkan melalui badan hokum pendidikan, juga terlihat dari alokasi kuota yang diberikan terhadap peserta didik dan keluarga miskin. Pada pasal 46 ayat (1) dikatakan bahwa badan hukum wajib menjaring dan menerima Warga Negara Indonesia yang mempunyai potensi akademik tinggi dan kurang mampu secara ekonomi paling sedikit 20 % dari jumlah keseluruhan peserta didik yang baru. Ketentuan ini sangat diskriminatif, karena yang diprioritaskan hanyalah anak-anak miskin yang mempunyai potensi akademik tinggi, sementara bagi mereka yang tidak mempunyai prestasi akademik tidak al;cn pernah dapat memperoleh pendidikan. Kenyataannya di Indonesia sangat sedikit anak-anak miskin yang berprestasi, tapi yang kcbanyakan adalah mereka yang prestasinya biasa-biasa saja. karena sudah menjadi badan usaha, walaupun milik negara. Secara kultural yang terjadi adalah makin lunturnya kultur intelektual, berganti kultur korporasi di dalam kampus. Kapital menjadi unsur penting bagi kelangsungan pergurnan tinggi, termasuk menjadi penentu apakah seseorang dapat diterima atau tidak berkuliah di PTBHMN tersebut. Hal itu karena untuk kelangsungan hidup PTBHMN dengan berbagai tuntutan seperti peningkatan kualitas perkuliahan, menjadi world class university, dan lainnya membutuhkan dana sangat banyak. Oleh karena itu, PTBHMN tidak sekadar berkonsentrasi pada pengembangan ilmu tetapi bertahan dan sukur-sukur dapat berkembang maju, di sinilah kapital menjadi unsur yang begitu penting. Dengan demikian sebenarnya PTBHMN tidak sekadar merupakan swastanisasi pendidikan tinggi negeri, melainkan juga korporatisasi pendidikan tinggi, yakni menjadikan perguruan tinggi layaknya sebuah korporasi (perusahaan) (Subkhan, http://pendidikankritis.wordpress.com)
Dalam pembukaan UUD 1945 dengan tegas menyebutkan bahwa menjadi tanggung jawab negara untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Dan ditegaskan kembali dalam pasal 31, bahwa setiap warga negara berhak untuk mendapatkan pendidikan dan pemerintah wajib untuk membiayainya. Narnun apabila dianalisis secara lebih dalam, UU BHP berkontradiktif dengan produk hukum tertinggi Indonesia yaitu konstitusi. Semangat yang lahir dari pengesahan UU BHP adalah untuk mendapatkan keuntungan bagi para investor dan  serta para akedemisi yang mengabdikan ilmunya kepada kepentingan imperialis. Di lain sisi merupakan sebuah bentuk lepasnya tanggung jawab konsMtusional negara untuk memenuhi clan menanggung pendidikan warga negaranya. UU BHP kemudian hanya akan melahirkan diskriminasi terhadap warga negaranya. Terutama dilihat dari sisi kemampuan akademisnya dan kemampuan keuangannya. Semakin miskin seorang individu maka aksesnya atas pendidikan akan semakin sempit dan terbatas.Padahal, sekali lagi dalam konstitusi kita ketika menyebutkan warga negara Indonesia adalah setiap individu berwarganegara Indonesia tanpa pandang bulu.

F.       Esensi Dari Kebijakan Baru
Berdasar analisis terhadap berbagai faktor pendukung yang membenarkan badan hukum pendidikan dengan faktor penghambat yang membantah kebijakan tersebut, maka dapat rumuskan beberapa esensi yang menjadi suatu kebijakan baru dalam membenahi pendidikan nasional.
Berbagai kontroversi di atas seharusnya bermuara pada satu pertanyaan, dapatkah badan hukum pendidikan ini diimplementasikan untuk menjamin kualitas pendidikan kita yang semakin baik.? Penulis sendiri berposisi mendukung penguatan profesionalisme otonomi penyelenggaraan pendidikan, tanpa harus melepaskan tanggung jawab negara terhadap pendanaan pendidikan. Tentu saja dengan berbagai catatan, bahwa implementasi badan hukum pendidikan tidak boleh menyebabkan komersialisasi pendidikan yang dapat membatasi hak-hak masyarakat "termasuk golongan tidak mampu" untuk menikmati pendidikan. Oleh sebab itu diperlukan revisi terhadap beberapa ketentuan dalam UU BHP yang tidak sesuai dengan jiwa dan semangat Pancasila dan UUD 1945.
Apabila dikaji secara mendalam, bahwa ctonomi pendidikan itu merupakan suatu keharusan untuk meningkatkan mutu pendidikan, hanya saja harus direvisi berbagai pasal-pasal yang tidak sejalan dengan jiwa dan semangat konstitusi. Otonomi tetap diberikan kepada Jembaga pendidikan dengan tetap mengedepankan tanggung jawab negara, hal ini mengindikasikan bahwa otonomi yang dibutuhkan tidak dalam bentuk badan hukum yang mempunyai visi mencari keuntungan.
Mengacu pada kebijakan otonomi daerah, maka otonomi terhadap pendidikan juga dapat dilakukan tanpa harus rnenjadikan lembaga pendidikan sebagai badan hukum yang berorientasi pada upaya untuk meraperoleh keuntungan dari segi finansial. Pemerintah dapat saja memberikan kewenangan kepada lembaga pendidikan seluas-luasnya dengan tetap meietakkan tanggungjawab pada negara. yang diperlukan adalah pemberdayaan instirusi rnelalui berbagai kebijakan yang tepat sasaran. Otonomi pendidikan tidak dimaksudkan memberikan kekuasaan sebesar-besarnya kepada istitusi lalu mengesampingkan tanggungjawab negara, tetapi bagaimana upaya pemerintah untuk meningkatkan partisipasi masyarakat (stakeholder) agar mereka juga merasa bertanggungjawab dalam peningkatan mutu pendidikan. Dengan demikian pemberian otonomi yang luas tidak harus dengan mengalihkan status lembaga pendidikan menjadi badan hiikum (privatisasi/swastanisasi).
Untuk memperbaiki pendidikan nasional harus dilandasi oleh visi normative yang mampu mengarahkan peserta didik kepada penerimaan akan pluralisme dan perbedaan, serta peningkatan kemampuan untuk mengelola konflik. Ini berarti, pertama, ada tempat dan kesempatan bagi peserta didik untuk melakukan diskusi, debat serta dialog mengenai bidang-bidang kehidupan. Kedita, ini juga berarti menerapkan apresiasi budaya dan pluralitas yang disesuaikan dengan prinsip-prinsip desentralisasi dan otonomi pendidikan. Ketiga, kita perlu menyiapkan tenaga pendidik yang mampu menterjemahkan muatan moral dan etika sosial , menjadi teladan dalam empati dan toleransi. Keempat, metode pengajaran yang dogmatis dan otoriter harus dihindari dan lebih mengutamakan sikap kritis, kemampuan analitis, dan kepekaan sosial. Kelima, kita perlu mendorong program-program pertukaran budaya dan pengenalan serta pemahaman mereka yang berbeda dengan dirinya (Shindunata, 2000:252).
Dilihat dari perspektif untuk melakukan reformasi pendidikan di Indonesia, persolana yang mengganjal masih sangat krusial. Pertama, anggaran pendidikan yang masih rendali, dan kedua, inefisiensi pengeloiaan dan penyimpangan penggunaan dana pendidikan masih cukup tinggi. Oleh sebab itu aspek penting bagi reformasi pendidikan adalah reformasi bidang manajemen. Dengan melihat pengalaman Thailand dan Singapura dalam melakukan reformasi pendidikan, maka agenda reformasi pendidikan dimaksudkan adalah pertama, perencanaan pendidikan dan pembelajaran yang sistematis, komprehensif, dan match dengan kebutuhan pembangunan dan kemajuan iptek. Kedua., pelaksanaan rencana yang efektif dan efisien, dengan criteria keberhasilan yang ketat, baik dilihat dari proses maupun produk pendidikan itu sendiri, Ketiga, pengawasan untuk tidak hanya memperoleh umpan balik, melainkan sebagai instrument penerapan reward bagi yang berprcstasi dan phunisment bagi yang melakukan deviasi      (Danim, 2000:152).
Untuk menjadikan bangsa Indonesia sebagai bangsa yang luhur dan bermartabat, maka pendidikan harus berakar pada konsep filosofi dan budaya bangsa. Atas dasar konsep budaya inilah dikembangkan kebijakan untuk beranjak menuju tata pergaulan dunia yang semakin maju, sehingga kemajuan dan kecerdasan yang diraih tidak menyebabkan bangsa ini terlepas dari unsur-unsur budaya yang melekat dalam kehidupannya setiap hari.


BAB III
PENUTUP
A.           Kesimpulan
Berdasarkan   uraian   tersbut   di   atas,   maka   dapat   diambil   beberapa kesimpulan, antara lain :
1.             Badan Hukum Pendidikan lahir sebagai amanah konstitusi dan UU Sisdiknas No. 20 tahun 2003. Hal ini sebagai konsekwensi dari timbulnya gagasan untuk melakukan reformasi bidang pendidikan yang dinilai seiama ini sangat memalukan; berada pada peringkat 109 dunia.
2.             BHP dilatar belakangi oleh dua kepentingan situasi yang serba sulit, di satu pihak adanya keharusan untuk merubah wajah pendidikan nasional dan di satu pihak adanya kepentingan asing terhadap pendidikan di Indonesia.
3.             BHP adalali kebijakan yang memberikan otonomi seluas-seluasnya kepada institusi pendidikan dengan mengalibkan status institusi menjadi badan hukum. Konsekwensinya adalah lembaga pendidikan berstatus svvasta dengan orientasi mencari keuntungan.
4.             Dari sisi positif, BHP berusaha memberdayakan institusi, memangkas birokrasi, meningkatkan akuntabilitas, transparansi, dan penjaminan mutu, "meningkatkan daya saing, serta efektifitas dan efisiensi. Sedangkari dari sisi negatifnya, BHP menyebabkan biaya pendidikan mahal, terjadinya diskriminasi antara peserta didik, arah pendidikan berorientasi pasar untuk mencari untung, semakin jauh dari upaya pencapaian tujuan nasional.
5.             Untuk meningkatkan mutu pendidikan diperlukan reformasi pendidikan yang menyeluruh dengan memberikan otonomi kepada institusi seluas-luasnya, tetapi hal ini tidak perlu dilakukan dengan mengalihkan status lembaga pendidikan menjadi badan hukum, mengingat tujuan yang ingin dicapai adalah untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Pendidikan harus tetap berlandaskan pada budaya bangsa, dengan peran serta masyarakat yang cukup tinggi.



B.            Saran-saran
Pada bagian akhir makalah ini, penulis akan memberikan beberapa saran, antara lain:
1.             Untuk melakukan suatu kebijakan dalam bidang pendidikan diharapkan para pengambil kebijakan harus selalu berorientasi pada nilai-nilai budaya bangsa, hakekat pendidikan dan konsep filosofi pendidikan nasional. Untuk menciptakan hal yang demikian, suatu kebijakan harus mendapat kajian kritis dari para pakar pendidikan, budayawan, psikolog, dan praktisi pendidikan.
2.             Pemberlakuan BHP secara lebih luas diharapkan agar dilakukan secara berhati-hati melalui sistim uji coba pada beberapa institusi pendidikan yang telah dijadikan pilot projek. Dari hasil yang diperoleh, lalu dilakukan perbaikan pada hal-hal yang kontroversi dan tidak menuju pada pencapaian tujuan nasional.



DAFTAR PUSTAKA

Danim, Sudarwan, (2003), Agenda Pembaharuan Sistem Pendidikan. Yogyakarta, Pustaka Pel ajar.

Irwandi, (2008), Pengesahan Undang-undang BHP. http://www.dikti.go.id/index.php.

Murniati, A.R.,  (2008), Manajemen Stratejik Peran Kepala Sekolah Dalam Pemberdayaan. Bandvmg, Citapusaka Media Perintis

Prasetio, (2008), Kontrofersi Undang-undang BHP. http://enewsletterdisdik.wordpress.com.

Shindunata, (2000), Menggagas Paradigma Barn Pendidikan: Demokratisasi, Olonomi, Civil Society, Globalisasi. Yogyakarta, Kanisius.

Sidi, Indra Djati, (2003), Menuju Masyarakat Belajar Menggagas Paradigma Baru Pendidikan. Jakarta, Paramadina.

Soetopo, Hendyat, (2009), Meningkatkan Mulu Pendidikan di Perguruan Tinggi, http:// info. fip.um.ac.id.

Sukarsono,     Shana    Fatina,     (2009),     BHP     dan     Hakikat     Pendidikan. http://www.km.itb.ac.id.

Tilaar, H.A.R., (2008), Manajemen Pendidikan Nasional Kajian Pendidikan Masa Depan. Bandung, Remaj a Rosdakarya.

Tilaar, H.A.R., (2002), Membenahi Pendidikan Nasional. Jakarta, Rineka Cipta.

Tilaar,  H.A.R.,  (2009), Kekuasaan dan Pendidikan: Manajemen Pendidikan Nasional dalam Pusaran Kekuasaan. Jakarta: Rineka Cipta.

Tyasno, (2009), Taman Siswa Tolak Undang-undang BHP. http://vvww. yogyakartaonline. com/index.php.


Zainure, (2008), Rancangan UU BHP dan Implikasinya. http://zainurie.wordpress.com



 DOWNLOAD

0 comments:

Post a Comment

Popular Posts

Followers